Facebook
RSS

FAKTA TENTANG STRES

Stres yang dimaksud di sini adalah stres psikologis, yaitu keadaan di mana pikiran mendapat tekanan yang lebih dari biasa yang pada tingkatan tertentu dapat mempengaruhi fungsi-fungsi tubuh. Stres adalah respon organisme terhadap tuntutan ataupun tekanan dari lingkungan yang menimbulkan perasaan ketegangan emosi maupun fisik. Meskipun stres merupakan akibat langsung dari kehidupan yang serba sibuk, dan dapat dialami oleh hampir semua orang, namun respon terhadap stres bisa berbeda-beda dari satu orang dengan orang yang lain.

Hal-hal yang menyebabkan stres (disebut "stresor") bisa dari kejadian sehari-hari, perubahan-perubahan besar dalam kehidupan seseorang, atau perpaduan dari beberapa penyebab. Stresor atau pencetus stres tidak selalu harus hal-hal yang negatif dan tidak menyenangkan, tetapi bisa juga diakibatkan oleh peristiwa-peristiwa yang menyenangkan. Stres dapat dipicu oleh situasi dari luar diri kita dan juga dari dalam pikiran kita sendiri yang membuat kita frustrasi ataupun kesal dan cemas, namun apa yang menyebabkan stres pada satu orang belum tentu mengakibatkan stres pada orang lain.

Stres adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Dalam takaran yang kecil stres merupakan sesuatu yang berdampak positif bagi tubuh, karena dapat memberikan motivasi atau mendorong kita untuk lebih produktif. Akan tetapi stres yang terlampau berat, ataupun respon yang berlebihan terhadap stres, itu bisa mengganggu kesehatan tubuh kita. Stres yang berkepanjangan seringkali juga dapat membuat seseorang menjadi depresi atau menimbulkan perilaku-perilaku yang buruk bagi kesehatan, misalnya makan berlebihan atau menenggak minuman keras dan menggunakan narkoba (narkotika dan obat-obat berbahaya).

Mulai dikenal dalam dunia kedokteran pada lebih dari setengah abad lalu, stres terus menjadi obyek penelitian kalangan kedokteran umum maupun jiwa. Mula-mula adalah dua orang dokter yang mengadakan penelitian tentang stres dan dianggap sebagai pakar stres yang paling berpengaruh, yaitu Walter Cannon dan Hans Selye. Menggunakan hewan sebagai "kelinci percobaan" mereka kemudian menjadi penyusun dari dasar ilmiah mula-mula dalam hal studi tentang stres. Keduanya terkenal dengan teori fight-or-flight response (respon lawan-atau-lari) yang merupakan tahap awal dari apa yang disebut "sindroma adaptasi umum"  (GAS=general adaptation syndrome) yang mengatur respon terhadap stres. Kemudian muncul pula pasangan dokter jiwa,Thomas Holmes dan Richard Rahe, yang mengadakan penelitian tentang stres pada manusia melibatkan lebih dari 5000 pasien dan kemudian menyusun skala stres untuk mengukur efek stres pada manusia. Belakangan para pakar medis maupun psikologi silih-berganti mengadakan studi untuk lebih memahami masalah stres dan bagaimana cara paling baik untuk menghadapinya.

Stres yang baik--disebut eustress--adalah yang meningkatkan semangat dan secara umum memberi pengaruh yang positif terhadap seseorang. Misalnya, seorang yang baru dipromosikan kepada suatu jabatan, atau karyawan yang merasa tertantang untuk menunjukkan kinerja yang lebih baik. Stres yang dialami oleh calon pengantin menunggu saat naik pelaminan, seorang yang akan mengikuti ujian, ataupun hendak mempresentasikan sesuatu di hadapan banyak orang merupakan faktor-faktor yang dapat memicu stres. Akan tetapi ini merupakan bentuk stres yang baik karena menimbulkan motivasi untuk tampil sebaik-baiknya, asalkan tidak meresponnya secara berlebihan.
Bukan hanya orang dewasa saja mengalami stres, tetapi juga anak-anak. Stres di masa kanak-kanak biasanya berkaitan dengan tuntutan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan ataupun sesuatu yang baru. Situasi ini sering menimbulkan rasa cemas pada anak-anak. Memulai suatu aktivitas yang baru juga berpotensi menyebabkan stres pada anak-anak. Misalnya ketika pindah sekolah atau melanjutkan di tingkat pendidikan yang lebih tinggi, bahkan ketika harus pindah tempat tinggal di lingkungan yang baru.

Dengan kenyataan bahwa stres adalah bagian dari kehidupan kita setiap hari, dan bahwa nyaris tidak ada orang yang bisa luput dari stres, maka apa yang penting untuk kita lakukan ialah belajar bagaimana hidup dengan stres. Ada berbagai pendekatan bisa dilakukan untuk menghadapi stres, termasuk pendekatan rohani. Inilah yang akan kita bahas dalam pelajaran pekan ini.
[ Read More ]

Setiap beban hidup berpotensi menjadi pemicu stres

Setiap beban hidup berpotensi menjadi pemicu stres dalam diri seseorang. Penawar satu-satunya terhadap stres yang diakibatkan oleh beban kehidupan ialah melepaskan beban itu. Pertanyaannya, hendak ditaruh di mana atau akan "dipindahkan" kepada siapa beban itu? Menjawab pertanyaan ini, Yesus berkata: "Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegaan kepadamu" (Mat. 11:28, huruf miring ditambahkan), ayat inti pelajaran pekan ini.

"Stres menyentuh semua orang. Tuntutan di tempat kerja, krisis keluarga, rasa bersalah, ketidakpastian akan masa depan, ketidakpuasan tentang masa lalu--semua ini sudah cukup berat. Semua ini, beserta dengan peristiwa-peristiwa kehidupan yang umum, dapat menimbulkan cukup tekanan pada orang-orang yang mempengaruhi kesehatan fisik maupun pikiran mereka".

Setiap orang yang masih hidup pasti mengalami stres. Bedanya adalah pemicu dan ukuran berat-ringannya yang tidak sama. Lebih jauh lagi, cara orang menghadapi atau mencari jalan keluar terhadap stres itu pun berlain-lainan. Masing-masing kita memiliki tingkat toleransi yang berbeda-beda terhadap stres, ada yang mampu bersikap tenang menghadapi stres tertentu yang pada orang lain pasti akan menyebabkan kecemasan bahkan penyakit psikosomatik. Sementara ambang batas kesanggupan dalam menghadapi stres berbeda dari satu orang dengan orang yang lain, "Jumlah stres yang sedang-sedang saja diperlukan untuk meningkatkan kinerja, tetapi lewat satu titik maka stres menjadi suatu risiko kesehatan".

Ketika mengalami stres yang melampaui titik ambang batas kesanggupan kita untuk menahan stres itulah kita perlu mencari solusi untuk meringankannya. Ayat inti di atas sudah sangat gamblang mengungkapkan, yaitu kita harus datang kepada Yesus. "Kalau kita mau membiarkan Dia, maka Tuhan akan menolong kita menghadapi tekanan-tekanan yang merupakan bagian tak terhindarkan dari kehidupan ini".
[ Read More ]

STRES KARENA PERSOALAN SEHARI-HARI

Peristiwa yang Menyenangkan Dalam Hidup
Mujizat di sungai Kerit. Kita tentu masih ingat kisah tentang nabi Elia yang mendapat pasokan makanan dua kali sehari melalui "katering udara" bukan? Ya, roti dan daging yang dengan setia diantarkan oleh burung-burung gagak pada pagi dan petang. Sesudah itu, di masa masih berlangsungnya bencana kelaparan yang dibiarkan Tuhan melanda seluruh Israel akibat pendurhakaan mereka, nabi ini diperintahkan Allah untuk mengungsi ke Sarfat, kota asing di wilayah Fenisia. Di sini, selama dua tahun Elia menumpang di rumah seorang perempuan janda beranak satu yang miskin, dan bertiga mereka hidup dari sedikit tepung dan minyak goreng yang tidak pernah habis.

Masalah ekonomi diyakini sebagai penyebab paling utama timbulnya stres pada manusia, dari dulu sampai sekarang. Sekalipun persoalan hidup sehari-hari amat beragam, termasuk masalah keluarga dan hubungan antar pribadi, namun tampaknya soal kekurangan uang menduduki urutan paling tinggi. Repotnya lagi, masalah yang berkaitan langsung dengan urusan perut ini adalah hal yang berpotensi melahirkan persoalan-persoalan lain yang bisa lebih parah akibatnya. Sebab seorang yang lapar dapat berbuat atau melakukan tindakan apa saja demi mengisi perutnya. Orang yang lapar dapat berubah menjadi lebih buas dari hewan.

Tetapi kita bersyukur bahwa jaminan Tuhan akan memenuhi janji-Nya untuk menyediakan makanan bagi umat-Nya tetap sama, baik pada zaman Elia maupun sekarang ini. "Saya melihat bahwa roti dan air untuk kita akan terjamin pada waktu itu, dan bahwa kita tidak akan kekurangan ataupun menderita lapar; karena Allah sanggup membentangkan meja di padang belantara untuk kita. Kalau perlu Dia mau mengirimkan burung-burung gagak untuk memberi kita makan, seperti yang Ia lakukan untuk memberi makan Elia".
Bukan hanya makanan dan minuman untuk mempertahankan hidup, bahkan kehidupan itu sendiri Tuhan juga menjamin. Seperti mujizat yang dilakukan melalui nabi Elia terhadap anak perempuan janda di Sarfat itu yang sekonyong-konyong jatuh sakit dan meninggal dunia. Mungkin ada yang berkata, "Tentu saja mujizat membangkitkan anak yang mati itu bisa dilakukan oleh Elia sebab dia seorang nabi." Pertanyaannya adalah: Apakah mujizat menghidupkan kembali anak yang mati itu dilakukan oleh nabi Elia, atau dilakukan oleh Allah sendiri melalui nabi Elia?

Elia memang seorang nabi, tapi nabi juga manusia. Sulit membayangkan bahwa seorang nabi yang baru saja menang besar dalam kontes menentukan melawan ratusan nabi palsu di gunung Karmel, tiba-tiba berubah menjadi seorang pengecut dan melarikan diri ke padang gurun, hanya karena mendengar ancaman seorang perempuan bernama Izebel. "Saya tidak tahan lagi, Tuhan," katanya dengan nada putus asa. "Ambillah nyawa saya. Saya tidak lebih baik dari leluhur saya!" (1Raj. 19:4, BIS). Elia mengalami stres berat yang mengarah kepada distress (menderita batin), dan dia bersungguh-sungguh saat mengucapkan kata-kata itu. Keletihan berjalan kaki seharian tanpa makan, ditambah dengan tekanan mental yang berat, membuat Elia jatuh tertidur. Dia berharap hidupnya berakhir dalam keadaan yang paling nyaman, mati saat sedang tidur.

"Kehidupan Elia penuh dengan tuntunan dan campur tangan Allah...namun, tidak lama setelah semua kejadian itu, Elia dilanda oleh gejala-gejala stres dan kekecewaan". Ini bukti nyata bahwa betapapun Elia telah merasakan pengalaman hidup yang penuh dengan pemeliharaan tangan Tuhan, bahkan terlibat langsung dalam mujizat demi mujizat yang diperagakan Allah, dia tetaplah seorang manusia yang pada dasarnya lemah seperti kita. "Tak seorangpun, walaupun seorang nabi seperti Elia, yang kebal terhadap kesulitan-kesulitan yang terjadi dalam kehidupan".

Elia melarikan diri dari hadapan permaisuri Izebel karena takut mati, tetapi setelah luput dari ancaman kematian itu justeru dia meminta mati. Ironis. Tetapi, tidak. Elia merasa lebih terhormat untuk mati seorang diri tanpa diketahui oleh musuhnya daripada mati di ujung pedang tentara-tentara suruhan Izebel. Dia ingin mati secara bermartabat, bukan sebagai seorang pecundang. Saya sangat menghargai sikap Elia yang patriotik ini. Pengikut Tuhan tak sepatutnya takut mati, tetapi janganlah mati untuk menjadi keuntungan bagi musuh Allah.
[ Read More ]

PUTUS ASA SETELAH KEMENANGAN BESAR

Peristiwa-peristiwa Kepahitan dalam Hidup
Izebel telah bersumpah untuk memenggal kepala Elia, membalas apa yang telah dilakukan terhadap 450 nabi-nabi Baal dan 400 nabi-nabi Asyera (dewi kesuburan yang disembah berdampingan dengan dewa Baal). "Tindakan ini diizinkan oleh Allah sebagai satu-satunya jalan untuk menghapus penyembahan berhala, termasuk mempersembahkan anak-anak (Yer. 19:5). Meskipun demikian tentulah hal itu menimbulkan korban perasaan di pihak sang nabi".

Dari sisi kemanusiaan, membunuh orang atau menyebabkan seseorang terbunuh selalu menimbulkan kegamangan psikologis terhadap pelaku. Apalagi jumlah korbannya sampai ratusan orang banyaknya. Tidak sedikit tentara Amerika yang bertempur selama bertahun-tahun di Perang Vietnam atau di Kamboja, dan telah membunuh banyak orang termasuk warga sipil, mengalami stres berat bahkan gangguan jiwa setelah kembali ke tanahair mereka. Memang di medan perang hanya ada dua pilihan, membunuh atau dibunuh. Tetapi rasa bersalah yang dipikul oleh para GI (government issue) ini seringkali terus terbawa hingga setelah mereka bebas tugas dan kembali ke kehidupan sipil. Para penerbang pesawat pembom yang menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada Perang Dunia II juga mengalami gangguan kejiwaan yang tak tersembuhkan sampai meninggal dunia.

Dalam kasus Elia, rasa bersalah itu mungkin ditambah lagi dengan kekesalan. Jengkel karena meskipun nabi-nabi Baal itu sudah ditumpas semuanya namun kenyataannya Israel belum terbebaskan dari kekafiran, sebab di istana masih ada ratu kafir yang masih berkuasa sementara raja Ahab yang lemah terhadap istrinya itu tidak lebih sebagai boneka saja. Jadi, untuk apa pembantaian besar-besaran itu? Apalagi rakyat sudah tak tahan menderita akibat musim kering yang berkepanjangan. Elia merasa seakan kemenangan besar di gunung Karmel itu sebagai sesuatu yang sia-sia.

Di dunia modern banyak kali terjadi kekecewaan yang dialami oleh para pejuang demokrasi dan pendekar kemanusiaan yang bolak-balik masuk penjara karena perjuangan menentang pemerintahan otoriter dan korup, namun usaha mereka tampak ibarat menabur garam ke laut. Jangankan menghasilkan perubahan, didengar pun tidak. Hal demikian bukan saja terjadi dalam kehidupan politik di suatu negara, tapi terkadang pula terjadi di lingkungan gereja dan jemaat. Pimpinan yang bekerja tidak becus, atau hanya mementingkan diri dan kelompoknya, seakan begitu kokoh bak pilar beton yang tetap bergeming meski telah berkali-kali digoyang oleh tuntutan perubahan. Tidak sedikit "korban" yang terhempas dari kedudukan karena menyuarakan aspirasi perbaikan pelayanan tetapi malah dicap sebagai pembangkang yang melawan pimpinan.
Putus asa, atau perasaan kehilangan harapan, adalah emosi yang negatif. Umat Tuhan yang beriman tidak selayaknya mengalami rasa putus asa dalam kehidupan mereka, betapapun usaha-usaha mereka sering bagaikan upaya menggantang asap atau menjaring angin. Itulah yang dirasakan oleh Elia, itu juga yang dialami Yeremia. Sehingga Tuhan harus menjawab kepada nabi Yeremia dengan kata-kata bersayap: "Jika engkau telah berlari dengan orang berjalan kaki, dan engkau telah dilelahkan, bagaimanakah engkau hendak berpacu melawan kuda?" (Yer. 12:5).

Terlampau sering pikiran kita terfokus pada tantangan-tantangan yang datang dari luar, tetapi sebenarnya tantangan yang paling mengancam adalah justeru yang berasal dari dalam jemaat sendiri. Sebagai umat Tuhan kita dituntut untuk memelihara dan mempertahankan kebenaran dari ancaman penguasa dunia di masa yang akan datang, sesuai dengan nubuatan dalam Wahyu 13. Ini memang peperangan terakhir yang menentukan dan merupakan pertarungan pamungkas bagi iman kita. Tetapi sebelum itu terjadi sangat mungkin kita juga akan berhadapan dengan ketidak-benaran di dalam gereja, menghadapi oknum-oknum di jemaat yang tidak menghargai peraturan atau yang dengan sengaja memanipulasi kebenaran karena memiliki agenda-agenda pribadi yang tersembunyi. Terhadap hal-hal seperti inilah kita yang mencintai kebenaran harus juga menyuarakan keprihatinan kita dan menunjukkan sikap, meski terkadang menghadapi risiko yang tidak menyenangkan. Mungkin ada yang dimusuhi, dikucilkan dan terpinggirkan, bahkan dijadikan sasaran pergunjingan dan dicari-cari kesalahannya untuk dicaci. Banyak orang yang tidak tahan menghadapi pergumulan seperti ini kemudian menjadi apatis lalu mundur teratur dan menjadi "pengembara" karena merasa kurang nyaman berbakti di jemaatnya sendiri.

Bagaimanapun juga seseorang yang tidak berani menyatakan sikapnya hanya mencerminkan kelemahan, dan kelemahan dalam bentuk apapun selalu dimanfaatkan oleh musuh besar itu. "Setan telah memetik keuntungan dari kelemahan manusiawi. Dan dia akan tetap bekerja dengan cara yang sama...Dia menyerang titik-titik lemah tabiat kita. Dia berusaha mengguncang keyakinan kita pada Allah, yang menderita akibat terjadinya keadaan seperti itu".

Biarlah kita tidak pernah menanggalkan pengharapan kita, bahwa Tuhan akan senantiasa menguatkan dan membimbing ketika kita harus berhadapan dengan segala kepalsuan. "Dengarkanlah Aku, hai kamu yang mengetahui apa yang benar, hai bangsa yang menyimpan pengajaran-Ku dalam hatimu!" kata Tuhan. "Janganlah takut jika diaibkan oleh manusia dan janganlah terkejut jika dinista oleh mereka" (Yes. 51:7). Segala jerih payah dan perjuangan kita dalam membela kebenaran tidak akan sia-sia, sebab Tuhan sendirilah yang akhirnya menjadi hakim yang adil dan yang akan membuktikan kebenaran-Nya yang kita bela. Kita tidak akan pernah merasa takut untuk diejek dan dihina oleh manusia, karena kita tahu kebenaran siapa yang sedang kita pertahankan.
[ Read More ]

JAWABAN YANG BENAR UNTUK DOA YANG SALAH

Terapi Allah
Kelelahan mental bermanifestasi pada keletihan fisik, begitu juga sebaliknya. Nabi Elia menempuh perjalanan seharian untuk sampai ke sebuah tempat dan jatuh tertidur di bawah pohon arar (juniper, sejenis pohon pandan besar  yang rindang dan berbunga kuning). Tidak dicatat berapa lama Elia tertidur sebelum dia kemudian dibangunkan oleh malaikat yang membawakannya makanan, dan sesudah makan dia tertidur kembali. Tampaknya Elia sudah terbiasa dengan pelayanan "katering istimewa" semacam ini; dulu di sungai Kerit diberi makan oleh burung gagak, dan sekarang oleh malaikat Tuhan.

Allah mengetahui kondisi fisik maupun kejiwaan Elia, dan Ia membiarkan nabi itu beristirahat sejenak dari kelelahan lahir-batin. Kalau Tuhan mau melakukan itu kepada Elia, apakah kita meragukan bahwa Ia akan melakukan hal yang sama kepada kita--anak-anak Tuhan yang berani seperti Elia?

Tetapi tentu saja tugas nabi itu belum tuntas. Dia tidak akan terus makan-tidur seperti itu. Setelah kekuatan fisiknya dan kesegaran jiwanya dipulihkan, Elia siap untuk mengadakan perjalanan selama 40 hari, siang dan malam. Dia diperintahkan oleh Tuhan untuk pergi ke gunung Horeb, atau disebut juga "gunung Tuhan," yaitu gunung Sinai di mana Allah dulu turun dan bertemu langsung dengan Musa untuk menyerahkan Sepuluh Perintah itu.

Orang tidak harus bekerja tanpa henti sambil menahan stres yang terus-menerus, perlu ada waktu istirahat. Terkadang Tuhan mengizinkan orang yang hendak disiapkan-Nya bagi suatu tugas besar untuk menikmati "masa jedah" selama beberapa waktu supaya dia siap baik fisik maupun mental. Perjalanan panjang yang dilakukan

Elia itu dapat dikatakan sebagai gerakbadan. "Latihan jasmani sering dimasukkan dalam aktivitas oleh sebab hal itu membantu produksi endorfin, unsur kimia alami sejenis morfin yang meningkatkan rasa nyaman dan untuk sementara waktu meringankan depresi".

Setelah mengalami tekanan jiwa yang berat, sampai-sampai menimbulkan keinginan untuk mati, Elia kemudian dibawa kepada suasana hati yang gembira. Selain berjalan kaki sebagai olahraga yang memicu tubuh menghasilkan zat endorfin yang menimbulkan rasa senang, Elia juga mengalami semacam eustress (stres yang baik) karena sambil berjalan itu dia berharap-harap cemas apa gerangan tugas yang sedang menantinya di depan. Nabi itu sudah terbiasa dengan cara-cara Allah memimpin hidupnya sehingga dia tahu bahwa kalau Tuhan menyuruhnya untuk pergi ke sebuah tempat pasti ada sesuatu yang harus dilakukannya di sana. Bukankah dia pernah disuruh tinggalkan sungai Kerit dan pergi ke Sarfat di mana dia mengadakan mujizat, dan dari situ dia disuruh kembali ke Samaria untuk menghadap raja Ahab sehingga terjadi kontes persembahan kurban di gunung Karmel yang menghebohkan itu?

"Dengan bimbingan ilahi Elia dituntun ke dalam langkah-langkah yang akan memulihkan kesehatan mentalnya yang normal. Sebagaimana halnya Elia, kitapun perlu membuka diri kepada pimpinan ilahi". Banyak kali kita tergoda untuk berpaling kepada sumberdaya yang ada dalam jangkauan kita demi mencari jalan membuang stres dan memulihkan kesegaran jiwa kita, namun acapkali langkah yang kita ambil berdasarkan pemikiran kita sendiri itu tidak membawa hasil seperti yang diharapkan. Lalu, gantinya kita beralih kepada Tuhan, seringkali kita malah menjadi penasaran dan merasa kurang puas dengan upaya yang kita lakukan sendiri itu lalu "meningkatkan dosis" pencarian ketenangan batin sebegitu rupa sampai usaha itu justeru menimbulkan ekses yang negatif.

Setibanya di gunung Sinai, dan setelah beristirahat sejenak di dalam gua, nabi besar itu menyaksikan suasana saat Allah turun ke bumi. Tuhan tidak ada dalam angin ribut, gempa maupun api yang datang susul-menyusul, melainkan Dia ada di dalam angin sepoi-sepoi (1Raj. 19:11, 12). "Apa kerjamu di sini, Elia?" Allah bertanya. Dua kali Tuhan mengajukan pertanyaan yang sama, dua kali pula Elia menjawab, "Aku bekerja segiat-giatnya bagi TUHAN, Allah semesta alam, karena orang Israel meninggalkan perjanjian-Mu, meruntuhkan mezbah-mezbah-Mu dan membunuh nabi-nabi-Mu dengan pedang; hanya aku seorang dirilah yang masih hidup dan mereka ingin mencabut nyawaku." (ay. 9-10, 13-14, huruf miring ditambahkan).

Jika sekiranya Tuhan bertanya kepada anda "Apa kerjamu di sini?" dapatkah anda menjawab seperti nabi Elia, "Aku bekerja segiat-giatnya bagi Tuhan"?
Dari pengalaman batin yang telah membuat dirinya stres, Tuhan membiarkan Elia menyaksikan suasana saat Allah turun ke bumi. Setelah itu masih ada tugas-tugas penting yang harus dikerjakannya, sebelum akhirnya nabi Elia diangkat hidup-hidup ke surga. Elia sudah terlanjur memohon hal yang tidak senonoh ketika dia meminta Tuhan mencabut nyawanya, tetapi Allah yang Maha Tahu itu memberikan kepadanya jawaban yang benar atas doanya yang salah itu!
[ Read More ]