Facebook
RSS

Hubungan dengan sesama

Manusia yang diciptakan sebagai makhluk sosial membuat setiap orang saling membutuhkan. Bahkan, bukan saja saling membutuhkan, tetapi manusia juga perlu untuk sayang-menyayangi. Ada kebutuhan batin dalam diri setiap orang untuk mengasihi dan dikasihi. Kalau kita hanya membatasi diri pada sekadar membutuhkan orang lain, tanpa rasa saling menyayangi, maka terjadilah apa yang disebut "exploitation de l'homme par l'homme" (penindasan manusia atas manusia).

Meskipun semua manusia ditakdirkan untuk membutuhkan orang lain, tetapi hubungan dengan sesama tidak serta-merta terjadi dalam lingkungan yang luas dengan melibatkan banyak orang sekaligus. Ada tahapan-tahapan di mana seseorang belajar mengenali orang lain dalam lingkungan terbatas, baru kemudian berkembang menjadi semakin meluas sejalan dengan perkembangan fisik dan mental. Seorang bayi yang baru lahir di awal pertumbuhannya hanya membutuhkan ibunya, lalu ayah dan keluarga langsung. Dengan bertambahnya umur, dari balita (di bawah lima tahun) sampai usia remaja, ada kebutuhan untuk bersosialisasi dengan orang-orang di luar keluarganya sendiri, seperti teman-teman sebaya ditambah orang-orang yang lebih dewasa. Baru setelah mencapai usia "kematangan sosial" maka dia akan membutuhkan siapa saja dalam kehidupannya.

Dari segi keintiman, sebagaimana kita tahu dan alami sendiri, seorang dewasa membutuhkan satu teman dekat (normalnya, yang berlainan jenis) yang sering disebut sebagai belahan-jiwa (soul mate) dengan siapa dia bebas mengekspresikan diri. Lalu ada beberapa orang lain (biasanya sesama jenis) sebagai sahabat-sahabat karib yang sangat dipercayainya (alter ego) yang dalam banyak kasus seseorang bahkan siap berkorban demi sobat kentalnya itu. Hubungan sosial ini kemudian meluas kepada keluarga dekat dan sanak famili serta lingkungan pergaulan yang lebih luas seperti teman-teman sebaya (peer), teman-teman sekerja, kawan-kawan dalam satu aktivitas, kerukunan tetangga, kerukunan etnis, dan sebagainya. Bagi seorang yang taat beragama maka dia tentu juga memiliki lingkup sosial dengan orang-orang dalam satu komunitas keagamaan secara lokal (jemaat, bagi orang Kristen). Inilah antara lain lingkungan pergaulan di mana seseorang merasa menjadi bagian dan di mana dirinya merasa diterima. Rasa berterima (acceptance) inilah yang membuat seseorang betah dan senang berada bersama orang-orang lain itu.

Salah satu prasyarat mendasar yang harus dimiliki seseorang dalam interaksi antar-pribadi adalah akuntabilitas diri (hal dapat dipercaya). Kita merasa aman dan nyaman bila berada dekat dan bercengkerama dengan orang-orang lain yang bisa dipercaya, dan untuk itu kita juga harus terlebih dulu menampilkan dan membuktikan diri sebagai orang yang dapat dipercaya. Mengapa tidak cukup hanya "menampilkan" tetapi juga harus "membuktikan" bahwa dirinya layak dipercaya? Sebab kalau hanya sebatas tampilan luar saja itu hanyalah kesan semu atau artifisial, yang segera akan terkuak kemudian pada situasi "kritis" di mana jatidiri seseorang akan terungkap. Jika seseorang memang memiliki sifat kejujuran yang tulus sehingga dia bisa dipercaya sebagaimana kesan yang ditampilkannya, maka itu akan terbukti pada keadaan yang genting. Gagal membuktikan diri sebagai orang yang bisa dipercaya maka anda akan kehilangan tempat di lingkungan pergaulan anda dan segera dikucilkan. Kalau ini terjadi, teramat sulitlah bagi seseorang untuk mendapatkan kembali kepercayaan. Seperti kata pepatah, "Sekali lancung ke ujian, seumur hidup tak dipercaya."

Lingkungan pergaulan terkadang juga bersifat eksklusif, yaitu hanya terdiri dari orang-orang dengan minat yang sama serta tujuan dan kepentingan yang sama. Misalnya sebuah klub, atau juga perserikatan. Bagi mereka yang merasa memiliki "perjuangan" yang sama maka akan didirikanlah partai politik atau perhimpunan dengan platform yang sama. Bahkan orang-orang yang bertujuan untuk hal-hal negatif pun bisa berhimpun dalam suatu kelompok, contohnya seperti "geng motor" yang sedang marak di tanah air yang niatnya lebih banyak bersifat destruktif. Meskipun begitu, tidak ada "perkumpulan orang-orang culas" yang kita dengar pernah didirikan orang, kecuali sekadar olok-olok saja. Sekalipun di dunia mafia atau kelompok kriminal yang notabene adalah orang-orang yang anti-sosial, orang culas menjadi musuh bersama mereka. Artinya, kejujuran diperlukan dalam lingkup pergaulan sosial apa saja.

Dalam konteks keberagamaan, hubungan tidak hanya yang bersifat horisontal di antara sesama manusia. Keberagamaan juga melibatkan hubungan vertikal, yaitu antara diri pribadi dengan Tuhan. Orang bisa saling "membohongi" dan memanfaatkan orang lain untuk maksud dan kepentingan tertentu--dalam lingkungan keagamaan sekalipun. Itulah sebabnya orang-orang yang datang berbakti pada waktu yang sama, berkumpul di tempat yang sama, mendengar khotbah yang sama, membaca dan belajar Firman Allah yang sama, bahkan bernaung dalam satu organisasi keagamaan yang sama, namun bisa berlaku culas antara satu sama lain. Agama sejatinya adalah upaya mendekatkan diri dengan Tuhan secara vertikal, kedekatan antar pribadi secara horisontal adalah bukti bahwa kita telah memiliki hubungan yang benar dengan Allah yang benar!
[ Read More ]

Keberanian" untuk membuka dan menyatakan jatidiri kita

Dengan dasar pemikiran seperti diutarakan dalam prawacana di atas saya cenderung berpikir bahwa untuk menjalin suatu hubungan antara pribadi yang sehat dan konstruktif diperlukan "keberanian" untuk membuka dan menyatakan jatidiri kita. Perlu juga kita menyadari bahwa hubungan antar-pribadi dalam suatu ajang yang bernama "pergaulan" itu tidak bisa dijalani begitu saja tanpa persiapan mental. Artinya, pergaulan itu tidak bisa dianggap sebagai aktivitas alami seperti halnya makan, tidur, berjalan, bicara, dan sebagainya. Perlu persiapan untuk mengantisipasi hal-hal yang muncul dari interaksi kita dengan orang-orang lain, bagaimana supaya saya bisa diterima dengan baik oleh orang lain. Kita juga harus belajar lebih dulu nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku di lingkungan di mana saya hendak menerjunkan diri dan berkecimpung bersama orang-orang lain serta langkah-langkah awal apa yang baik.

Ambillah contoh hubungan antar-pribadi yang paling terbatas dan eksklusif, yakni apabila anda hendak memilih seorang teman hidup. Ada beberapa langkah yang harus ditempuh untuk menjalin hubungan yang bermutu, dimulai dengan berkenalan, bergaul, saling membuka diri, saling percaya, lalu saling mencintai. Tidak ada yang namanya "cinta pada pandangan pertama" (love at the first sight). Penampilan fisik (physical appearance) itu hanyalah pesona awal yang mendekatkan kedua insan. Tentu saja "prosedur" ini tidak berlaku di zaman Alkitab, atau pada "Zaman Siti Nurbaya" yang baru seabad lalu, di mana menikah itu lebih menjadi hak orangtua ketimbang hak dari anak-anak yang hendak menikah. Istilahnya, our marriage, their wedding, anak-anak yang mau kawin tapi orangtua yang punya pesta.

Di zaman teknologi digital dan internet ini, utamanya di kebudayaan dunia barat, pasangan yang hendak menikah itu memiliki hak mutlak untuk memilih pasangannya, menentukan kapan mereka hendak menikah, siapa yang akan mendampingi, nuansa warna, dan sebagainya. Dan sekalipun dengan perkembangan teknologi informasi sepasang sejoli dapat saja berkenalan dan bergaul melalui internet, tidak bergaul langsung secara fisik, namun tahapan-tahapan pranikah itu tetap saja diperlukan. Bahkan pasangan-pasangan instan yang menikah di Las Vegas, yang baru jumpa semalam, tetap saja ada tahapan saling mengenal. Tidak ada pasangan yang menikah tanpa saling tahu nama masing-masing.

Bergaul dengan orang lain--apapun maksud dan tujuannya--mesti memperhitungkan berbagai masalah dan kesulitan yang bakal muncul. Sebab setiap orang adalah unik, berasal dari lingkungan keluarga yang berbeda, dibesarkan di lingkungan yang berbeda, menempuh pendidikan yang berbeda, memiliki pengalaman yang berbeda, menganut paham dan wawasan yang berbeda, menjunjung norma-norma yang berbeda, bahkan mewarisi gen-gen pembawa sifat yang berbeda-beda. Semua ini merupakan faktor-faktor potensial untuk menimbulkan kesalahpahaman dan dengan sendirinya mengganggu untuk suatu hubungan yang harmonis. Pendeknya, hubungan antar pribadi selalu sarat dengan masalah.

"Apakah masalah dengan pasangan, anak-anak, atasan, rekan sekerja, tetangga, teman, atau musuh, orang-orang cenderung menjadi penyebab stres yang utama. Sebaliknya, apabila hubungan-hubungan itu positif maka semua itu merupakan sumber kepuasan yang mantap".

Nah, beranikah anda untuk bergaul dengan orang-orang lain yang dalam banyak hal berbeda dengan anda?
[ Read More ]

BERANI UNTUK RENDAH HATI

Kita sering mendengar bahwa hidup di dunia ini penuh pergulatan serta persaingan, dan bahwa hanya orang-orang yang ulet saja dapat meraih sukses. Pandangan seperti ini sudah ditanamkan sejak kecil dan ditempa terus-menerus, baik di rumah maupun di sekolah, sehingga kita cenderung tumbuh dengan sikap yang siap untuk bertarung demi meraih kehidupan. Mirip dengan dunia satwa di alam bebas yang harus berkelahi baru bisa hidup dan eksis.

Lingkungan gerejawi selayaknya adalah sebuah entitas yang terdiri atas orang-orang yang kontras dengan keadaan di luar gereja yang penuh suasana "pertarungan" untuk eksis. Sebab gereja adalah tempat berhimpunnya orang-orang yang sedang menghidupkan keteladanan Yesus yang penuh penyangkalan diri. Tapi kenyataannya lebih sering mengecewakan ekspektasi itu. Sehingga seorang sejarahwan pernah berucap, "Saya masuk ke dunia, saya melihat gereja di dalamnya; saya masuk ke gereja, saya melihat dunia di dalamnya." Bukan karena keadaan di gereja tidak ada bedanya dengan keadaan di luar gereja, tetapi karena di dalam gereja belum semua adalah gandum melainkan masih ada lalang-lalang. [Mat. 13:24-30].

Namun orang-orang yang aktif di dalam gereja kebanyakan adalah juga orang-orang yang giat di luar gereja, bahkan keseharian mereka lebih banyak bersentuhan dengan suasana di luar gereja. Lalu kita bertanya: Mungkinkah seorang Kristen sejati yang berkarir di luar lingkungan gereja bisa sukses sambil terus taat mempertahankan tiga sifat dalam Efesus 4:2, yaitu rendah hati, lemah lembut, dan sabar?

Pertama-tama kita perlu mendefinisikan dulu apa artinya rendah hati, lemah lembut dan sabar itu. Ketiga sifat ini pada dasarnya adalah identik. Supaya tidak terlalu tendensius kita ambil saja pendapat sekuler mengenai sifat ini. Kerendahan hati, menurut Immanuel Kant (psikolog dan filsuf klasik terkenal asal Jerman), adalah sebuah kebajikan atau sifat baik (virtue); yang menurut penelitian Jim Collins dkk sebagai suatu sifat yang dapat meningkatkan efektivitas kepemimpinan. Lemah lembut itu bersifat mudah diatur, ramah, halus pembawaaanya, serta mampu meredakan amarah orang lain. Sabar ialah memiliki kesanggupan untuk bertahan di bawah keadaan yang sulit dan tidak mudah terprovokasi, dapat menahan emosi. Walaupun menurut filsuf Friedrich Nietzsche ini adalah sesuatu yang berat, berlawanan dengan nafsu yang tidak bisa menunggu, namun kesabaran menunjukkan kematangan pribadi yang amat diperlukan di saat-saat genting. Pendeknya, ketiga sifat ini lebih menguntungkan bukan saja dalam pergaulan tetapi juga dalam kehidupan secara keseluruhan.

Contoh dari Alkitab tentang seorang yang memiliki ketiga sifat kebajikan ini adalah Abigail. Di saat keluarganya menghadapi kegeraman Daud dengan 400 pasukannya yang hendak menuntut balas atas harga dirinya yang dilecehkan dan akan menumpas semua laki-laki di rumah Nabal sebelum fajar berikutnya (1Sam. 25:22), Abigail tampil sebagai pahlawan yang bukan saja menyelamatkan orang-orang yang tidak bersalah di rumahnya tetapi juga menyelamatkan Daud sendiri dari berbuat dosa. Tersadar oleh kecerobohan yang nyaris dilakukannya, Daud pun memuji tindakan Abigail: "Terpujilah kebijakanmu dan terpujilah engkau sendiri, bahwa engkau pada hari ini menahan aku dari melakukan hutang darah dan dari bertindak sendiri dalam mencari keadilan" (ay. 33). Belakangan, Daud yang terkesan dengan kebajikan Abigail kemudian memperistri wanita cantik ini setelah Nabal, suaminya, mati terkena serangan jantung.

Tentu tidak semua kemarahan dapat diredakan dengan cara seperti itu. Ada faktor-faktor lainnya yang ikut berpengaruh, termasuk kualitas pribadi pihak yang sedang marah dan apa alasan kemarahannya. Selain itu ada pula faktor hubungan kasuistis kedua pihak yang bersengketa. "Hasilnya sangat beragam tergantung pada bagaimana orang-orang itu mempresentasikan diri mereka--sebagai atasan, sebagai sejawat, atau sebagai teman-teman maupun rekan-rekan bawahan".

Tetapi yang pasti dalam peristiwa yang melibatkan ketiga ini, yaitu antara Nabal yang sombong dan melecehkan orang lain dan Daud yang emosional dengan rasa harga diri yang tinggi, Abigail telah tampil sebagai penyelamat. Kedudukan wanita bijaksana ini di hadapan kedua lelaki tersebut lebih rendah (inferior), apalagi pada zaman dan dalam kebudayaan setempat yang sangat patrialistik, namun demikian dia tidak merasa terkendala untuk berbuat sesuatu yang positif. "Hasil dari tindakan Abigail yang bijaksana dan rendah hati itu telah sama sekali membalikkan niat Daud. Dia bersyukur kepada Tuhan yang sudah mengutus wanita ini dan memujinya atas pertimbangannya yang baik".

Berdasarkan dua hal yang telah dipaparkan ini, yaitu pendapat para pakar dunia dan contoh kasus dari Alkitab, maka untuk menjawab pertanyaan "Mungkinkah seorang Kristen sejati yang berkarir di luar lingkungan gereja bisa sukses sambil terus taat mempertahankan tiga sifat dalam Efesus 4:2, yaitu rendah hati, lemah lembut, dan sabar?" kita bisa berkata bahwa hal itu sangat mungkin! Situasi dan kondisi yang dihadapi dalam dunia kerja pasti berbeda dengan situasi dan kondisi persekutuan dan perbaktian di dalam gereja, namun ketiga sifat ini tetap memberi manfaat. Kerendahan hati, lemah lembut, dan sabar adalah tiga ciri kecerdasan emosi (emotional quotient) merupakan tuntutan yang bersifat universal. Tidak ada lingkungan sosial maupun lingkungan pekerjaan yang tidak menyukai ketiga sifat baik ini, betapapun dahsyatnya persaingan di dunia.

Orang yang berani menunjukkan kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran adalah orang yang berpotensi meraih keberhasilan, di luar gereja maupun di dalam gereja.
[ Read More ]

BERANI UNTUK BERSIKAP BAIK

Dalam khasanah peribahasa kita ada yang berbunyi, "Pembalasan lebih kejam dari perbuatan." Lazimnya, peribahasa adalah cerminan dari kehidupan suatu masyarakat. Artinya, kata-kata itu bukan ungkapan kosong melainkan merupakan kenyataan hidup dan cenderung menjadi "falsafah" yang diajarkan secara turun-temurun. Dari peribahasa yang satu ini terbersit juga sebuah nasihat dan sekaligus peringatan, bahwa setiap perbuatan buruk selalu mengandung risiko dibalas, bahkan dengan cara yang lebih buruk lagi.

Hampir semua budaya memiliki falsafah yang kurang-lebih sama dengan itu. Di masyarakat Israel purba bahkan hal itu menjadi pakem yang wajib dijalankan. "Mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki, lecur ganti lecur, luka ganti luka, bengkak ganti bengkak" (Kel. 21:24, 25). Konsep hukum yang disebut lex talionis (hukum pembalasan denam) ini terus dipelihara bahkan hingga sekarang ini. Itulah sebabnya setiap serangan musuh ke wilayah Israel pasti akan selalu dibalas, terkadang dengan intensitas yang lebih dahsyat. Kita melihat itu diperagakan di Jalur Gaza.

Tatkala Yesus hidup di tengah masyarakat Yahudi lebih 2000 tahun silam tentu saja cara berpikir mereka seperti itu, bahwa setiap perbuatan yang menimbulkan kerugian atau cedera layak dibalas. Karena itu para pemuka masyarakat sangat marah dan tersinggung manakala Yesus mengajarkan paham yang berbeda. Mereka tidak bisa menerima bahwa aturan adat-istiadat yang sudah berabad-abad dijalankan itu "direduksi" (diturunkan maknanya) ketika Yesus mengajarkan bahwa kalau orang menampar pipi kananmu, berikan juga pipi kirimu. Ini bukan saja melanggar hukum adat yang sudah baku selama ratusan tahun, tetapi juga melambangkan kelemahan dan ketidakberdayaan. Namun, sementara bagi mereka ajaran "ditampar pipi kanan, berikan juga pipi kiri" itu merendahkan martabat, Yesus justeru bermaksud untuk mengangkat pola berpikir mereka kepada sesuatu yang lebih luhur.

"Yesus meningkatkan (upgraded) pendekatan 'mata ganti mata' menjadi ditampar satu pipi berikan lagi pipi yang lain [Mat. 5:39]. Ini adalah sebuah konsep revolusioner pada masa itu dan juga sekarang ini bagi banyak budaya dan tradisi". Mengapa konsep hukum yang baru dari Yesus itu disebut meninggikan gantinya merendahkan? Karena Dia sedang memperkenalkan hukum kasih agape, doktrin kasih tertinggi yang sebelumnya tidak pernah dimengerti oleh mereka. Mengapa hukum "mata ganti mata" itu ada dalam tatanan kehidupan mereka itu harus dipandang sebagai sebuah amaran agar orang tidak berbuat jahat kepada sesamanya. Prinsip dari hukum adalah untuk menjaga ketenteraman, sebagai pagar yang membatasi perilaku setiap orang demi kebaikan bersama. Hukum tidak dibuat untuk dilanggar, melainkan untuk dituruti, supaya sangsi yang melekat pada hukum itu tidak perlu diberlakukan jika semua orang telah menghormati hukum itu.

Dengan memperkenalkan konsep pendekatan baru dalam hubungan antar-manusia seperti itu, Yesus sedang memberikan "pengaruh lawan" terhadap cara berpikir manusia pada zaman itu hingga sekarang. Bukan itu saja, Ia juga sedang mengajarkan bahwa bagi orang yang bersalah hukuman batin justeru jauh lebih berat daripada sekadar hukum badan.

Hukum membalas kejahatan dengan kebaikan ini juga sebenarnya bukan barang baru bagi mereka, sebab itu sudah ada dalam kumpulan takzim leluhur mereka, raja Salomo. "Kalau musuhmu lapar, berilah ia makan; dan kalau ia haus, berilah ia minum. Dengan demikian engkau membuat dia menjadi malu, dan Tuhan akan memberkatimu" (Ams. 25:21-22, BIS, huruf miring ditambahkan). Musuh yang lapar dan haus artinya dia sedang melarat, dan dengan memberikan kepadanya kebutuhan dasar yang paling pokok (makanan) maka penderitaan batinnya akan jauh lebih berat untuk ditanggung. Tidak ada di antara kita yang meskipun hidup susah mau meminta makan dari orang yang kita musuhi, bukan? Kenapa? Sebabnya adalah masalah harga diri; padahal kita mau bertengkar dengan orang lain justeru karena masalah harga diri. Orang lebih baik mencuri untuk mengisi perut daripada dia mengemis kepada lawannya. Rasa malu sering lebih berat ditanggung ketimbang rasa lapar.

Dengan memberikan sepiring pastei apel kepada tetangga yang suka comel itu, keluarga ini telah mengubah suasana hubungan bertetangga mereka. Kalau tetangga yang suka rewel itu menerima pastei apel tersebut bukan karena mereka sedang lapar, tetapi itu diterima sebagai tanda persahabatan. "Tindakan sederhana itu telah menciptakan perbedaan dalam hubungan mereka, barangkali karena mereka tidak pernah mengharapkan sesuatu seperti itu dari orang-orang yang telah mereka perlakukan kasar terus-menerus". Atau, kemungkinan tetangga yang tadinya reseh itu ingin bersahabat dengan keluarga ini tetapi dengan cara pendekatan yang tidak bersahabat? Pada waktu kita masih kanak-kanak, bukankah kita juga suka melakukan "pendekatan" seperti itu terhadap anak baru di lingkungan kita, sengaja mengusiknya supaya berkenalan? Di masa remaja dulu ada teman-teman yang kemudian menjadi sahabat dekat setelah sebelumnya duel dulu sebagai perkenalan. Tetapi lebih baik begitu daripada berkenalan secara baik-baik lalu setelah menjadi teman baru duel!

Daud pernah mengalami kepahitan seperti itu. Semula hubungannya dengan raja Saul baik-baik saja, bahkan Daud telah menjadi pahlawan yang memenangkan "sayembara" dengan membunuh ratusan orang Filistin sehingga kepadanya Saul menghadiahkan salah seorang putrinya untuk diperistri Daud. Tetapi tatkala menantunya itu menjadi pesaing potensial untuk takhtanya, raja Saul berubah menjadi monster. Namun Daud, yang sebenarnya adalah seorang pemberang dan keras (lihat pelajaran hari Minggu), memilih untuk bersikap manis. "Daud memilih suatu sikap merendah dan saleh dalam menghadapi seseorang yang tidak baik kepadanya".

Untuk membalas kejelekan dengan kebaikan, kekasaran dengan keramahan, bahkan mengorbankan pipi kiri lagi setelah pipi kanan ditampar, memerlukan suatu keberanian moral yang hanya orang-orang dengan kematangan pribadi dan kedewasaan iman dapat melakukannya. Membalas kejahatan dengan kebaikan, di tengah masyarakat yang memegang paham balas dendam sebagai konsep yang baku, adalah suatu tindakan melawan arus yang berani. Perlu keberanian yang tidak kecil untuk berlaku "anomali" dengan risiko dihujat orang. Tetapi itulah yang diajarkan dan diteladankan Yesus kepada para pengikut-Nya, berani bersikap baik apapun situasinya.

Menjadi pengikut Kristus adalah menjadi seorang yang berani untuk bersikap baik, tidak peduli seberapa jahatnya orang itu telah perbuat kepada saya!
[ Read More ]

BERANI UNTUK MENGAMPUNI

Adalah Dr. Robert Enright dari Universitas Wisconsin di Madison yang mendirikan Institut Pengampunan Internasional (International Forgiveness Institute) dengan tujuan untuk penelitian hal-hal yang berkaitan dengan masalah mengampuni. Dia mengembangkan apa yang disebutnya "Proses Percontohan Pengampunan 20 Langkah" yang antara lain meneliti jenis orang seperti apakah yang cenderung mudah untuk mengampuni. Studi ini menemukan bahwa mereka yang suka mengampuni adalah orang-orang yang lebih berbahagia dan lebih sehat ketimbang mereka yang menyimpan dendam. Didapati bahwa pada waktu seseorang berpikir untuk mengampuni orang lain yang bersalah kepadanya maka hal itu meningkatkan fungsi sistem kardio-vaskuler dan sistem saraf mereka. Semakin seseorang itu mengampuni sesamanya, semakin sedikit dia menderita berbagai penyakit. Sebaliknya, orang-orang yang sedikit mengampuni dilaporkan lebih banyak mengalami gangguan kesehatan.

Peneliti lain, Dr. Fred Luskin dari Universitas Stanford, menemukan dalam penelitiannya bahwa kemampuan mengampuni itu bisa dipelajari. Dan orang-orang yang diajarkan untuk mengampuni menjadi berkurang marahnya, sedikit merasa sakit hati, lebih optimistik, menjadi lebih mudah mengampuni dalam berbagai keadaan, serta menjadi lebih memiliki rasa kasih sayang dan lebih percaya diri. Studinya menunjukkan berkurangnya pengalaman stres dan akibatnya terhadap fisik, serta meningkatnya vitalitas.

Penelitian lain juga membuktikan bahwa baik sikap mengampuni yang diperoleh dari pendidikan agama maupun melalui penyuluhan umum yang bersifat ilmiah sama-sama menghasilkan efek yang serupa. Bahkan, ajaran kebatinan tradisional di Hawai mempraktikkan apa yang disebut ho-oponopono, yaitu latihan pendamaian dan pengampunan yang disertai doa. Ajaran serupa juga dikenal di berbagai suku-bangsa yang hidup di kepulauan-kepulauan kawasan Pasifik Selatan, di mana penyembuhan penyakit badani diperoleh melalui latihan mengampuni orang lain.

Di zaman modern ini tampaknya mengampuni orang lain adalah semacam barang mewah sehingga sedikit orang saja yang sanggup memilikinya. Jauh lebih murah barang-barang perlengkapan hidup yang semahal apapun. Buktinya, kesalahan yang belum diampuni dapat memicu huru-hara besar di mana orang tidak lagi menganggap harta benda itu bernilai. Gedung dihancurkan, mobil dibakar, bahkan nyawa sekalipun kehilangan harga. Permintaan maaf dari pihak yang dianggap bersalah seringkali juga tidak cukup bernilai untuk "membeli" sebuah pengampunan, terutama jika pokok pertikaian menyangkut masalah SARA (suku, agama dan ras). Itu bisa terjadi di negara-negara berkembang di mana rakyatnya "kenyang dengan kelaparan" dan itu juga dapat terjadi di negara-negara industri maju yang rakyatnya relatif hidup makmur.
Lebih merisaukan lagi kalau miskinnya pengampunan itu dialami di lingkungan orang-orang yang mengaku sebagai umat Tuhan. "Adalah suatu kenyataan hidup bahwa sebagai manusia biasa kita sering saling-silang satu sama lain dan mengakibatkan saling menyakiti, bahkan--dan terkadang secara khusus--di dalam gereja. Oleh sebab itu, alangkah pentingnya kita mempelajari seni mengampuni".

Banyak orang mengira bahwa menjadi orang Kristen itu yang penting adalah memelihara Sepuluh Perintah Allah (Sepuluh Hukum). Roh dari Kekristenan justera terdapat pada sifat suka mengampuni di antara para penganutnya. Namun soal mengampuni tampaknya sudah menjadi isu penting sejak zaman Yesus, sehingga dalam mengajarkan murid-murid-Nya untuk berdoa Ia menekankan pentingnya mengampuni orang lain. "Kalau kalian mengampuni orang yang bersalah kepadamu, Bapamu di surga pun akan mengampuni kesalahanmu. Tetapi kalau kalian tidak mengampuni kesalahan orang lain, Bapamu di surga juga tidak akan mengampuni kesalahanmu" (Mat. 6:14-15, BIS).

Tiga dasawarsa kemudian hal yang sama ditekankan lagi oleh rasul Paulus ketika menulis surat kepada jemaat di Efesus. Perhatikan tiga hal yang disebutkannya, "Hendaklah kalian baik hati dan berbelas kasihan seorang terhadap yang lain, dan saling mengampuni sama seperti Allah pun mengampuni kalian melalui Kristus" (4:32, BIS). Berdasarkan urut-urutan dalam ayat ini, agar seseorang mudah untuk mengampuni orang lain maka lebih dulu dia perlu memiliki dua sifat lain, yakni "baik hati" dan "belas kasihan." Seorang yang baik hati tentu memiliki rasa belas kasihan, dan orang yang mempunyai rasa belas kasihan pasti mudah mengampuni. Seperti kata rasul Petrus, "Dengan saling mengasihi kalian akan bersedia juga untuk saling mengampuni" (1Ptr. 4:8, BIS). Sangat masuk akal. Sebab sulit bagi anda untuk mengampuni saya kalau anda tidak lebih dulu memiliki sifat baik hati dan mengasihi saya. Bahkan, mustahil bagi orang yang tidak baik (=jahat) dan tidak berbelas kasihan (=kejam) untuk bisa mengampuni orang lain!

"Pengampunan termasuk di antara strategi yang paling menyejukkan, sekalipun kesanggupan untuk benar-benar mengampuni dan diampuni datangnya hanya dari Allah melalui sebuah hati yang diubahkan oleh Allah [Yeh. 36:26]". Benar, tidak ada pengampunan yang setara dengan pengampunan dari Allah, karena hanya pengampunan dari Dia saja dapat menghapus dosa-dosa kita. Namun demikian, pengampunan yang dituntut dari kita selaku anak-anak-Nya ialah melatih sifat-sifat yang "diturunkan" Bapa semawi itu kepada kita melalui Kristus. Pengampunan dari Bapa semawi itu tidak sekadar melayakkan kita untuk masuk surga, tetapi juga menyanggupkan kita untuk mempraktikannya terhadap sesama kita.

Menjadi orang Kristen sejati berarti menjadi seorang yang berani untuk mengampuni, tidak peduli kesalahan apapun yang telah dilakukan orang itu kepada saya!
[ Read More ]

BERANI UNTUK MENGAKU

Dulu ada sebuah pemeo yang cukup populer: Mengaku supaya enteng. Maksudnya, kalau anda berbuat suatu kesalahan, sengaja atau karena alpa, lebih baik mengaku terus terang supaya hukumannya lebih enteng. Barangkali karena untuk mengaku itu saja sudah merupakan suatu hukuman tersendiri bagi si pesakitan.

Ada beberapa alasan mengapa orang sukar untuk mengakui kesalahan. Antara lain, tidak menyadari telah berbuat salah, menyadari tapi malu, takut ketahuan kekurangan atau kelemahannya, menganggap kesalahan itu sepele, merasa diri lebih besar daripada pihak terhadap siapa harus mengaku, tidak menghargai orang lain, dan sebagainya. Tapi jika ditelaah semua itu berpangkal pada satu hal, yakni gengsi. Gengsi adalah "penyakit moral" yang telah banyak menimbulkan kerugian, materil maupun moril. Karena gengsi orang nekad mengeluarkan uang banyak meski hidupnya pas-pasan. Gara-gara gengsi juga banyak orang yang kehilangan kesempatan emas untuk mendapat sesuatu yang berharga bagi hidupnya, termasuk kehilangan calon pasangan hidup. Pokoknya, gengsi bisa membuat seseorang kehilangan akal sehat.

Menurut Sigmund Freud, dalam diri manusia terdapat sebuah struktur yang disebutnya sebagai "apparatus psikis" yang terdiri atas id, ego dan super-ego dengan fungsinya masing-masing. Id bertanggungjawab pada kecenderungan naluri manusia, ego mengendalikan pemikiran yang realistik dan tertata, sedangkan super-ego memainkan peran moral yang bersifat kritis. Berdasarkan teori struktural ini maka dia berpendapat bahwa rasa bersalah timbul sebagai akibat dari konflik antara ego dan super-ego.

Rasa bersalah perlu ditangani dengan tepat, karena jika terus terpendam dapat mengganggu kestabilan emosi bahkan membuat yang bersangkutan jatuh sakit. Pertanyaannya, bagaimana dan kepada siapa rasa bersalah itu hendak dicurahkan? Selain itu, apakah pengungkapan rasa bersalah akan diterima dengan baik?
Keberanian untuk mengakui kesalahan oleh pihak yang bersalah, dan kesediaan menerima pengakuan itu di pihak yang telah diperlakukan salah, sama-sama merupakan suatu tindakan yang mulia. Asalkan kedua pihak melakukannya dengan hati yang tulus dan pikiran yang jernih. Perlu disadari juga bahwa kedua pihak berkemungkinan untuk bertukar posisi di waktu yang akan datang; kali ini si A yang mengaku salah kepada si B, lain kali si B yang melakukannya kepada si A. Dengan pemikiran itu maka dalam hal pengakuan bersalah sebenarnya tidak ada pihak yang perlu merasa direndahkan ataupun ditinggikan. Terlepas dari besar-kecilnya kesalahan yang hendak diakui itu, pada dasarnya tindakan mengaku bersalah itu harus dilihat sebagai manifestasi hubungan pergaulan antar manusia yang wajar, namun terpuji. Apalagi jika itu terjadi di kalangan umat Tuhan. "Oleh rahmat Allah, satu jiwa yang berbudi akan memberi pengampunan, terlepas dari seberapa besar perasaan yang terluka".

Apabila hubungan antar manusia terjalin atas dasar kesetaraan--tidak ada yang merasa lebih besar dari yang lain--biasanya proses pengakuan rasa bersalah akan berjalan dengan mulus. Bagi yang menerima pengakuan bersalah ada perasaan bahwa dirinya dihargai dan dipercaya, sedangkan bagi yang menyatakan pengakuan itu ada keyakinan bahwa dirinya tidak akan direndahkan dan pengakuannya dihormati. "Menaruh percaya dan dipercaya menyediakan ikatan yang akan membuat suatu persahabatan itu sejati dan abadi".

Seseorang yang secara psikis sudah dewasa serta memiliki kepribadian yang baik dengan pertumbuhan kerohanian yang matang, biasanya adalah orang yang tepat dengan siapa kita mengungkapkan beban rasa bersalah yang menghimpit batin, apabila kita telah berbuat salah terhadap suatu pihak lain. Barangkali pribadi seperti ini dapat dijadikan sebagai "pihak ketiga" yang akan bertindak sebagai penghubung di antara dua orang yang berselisih. Terhadap seseorang dengan kepribadian matang seperti itu biasanya memudahkan kedua pihak yang terlibat konflik untuk mengutarakan perasaan mereka tanpa kekuatiran cerita tentang mereka akan menyebar atau dimanfaatkan untuk tujuan yang merugikan. Hal ini harus benar-benar dipertimbangkan dengan cermat sebelum seseorang mengungkapkan kesalahan yang telah dibuatnya. Kalaupun anda tidak merasa yakin apakah ada orang yang bisa dipercaya untuk menjembatani perselisihan, kita masih memiliki Tuhan sebagai pihak ketiga yang bahkan sangat terpercaya. "Yang terpenting adalah bahwa kita selalu dapat mengakui pelanggaran kita kepada Tuhan dalam keyakinan penuh dan dengan kepastian pengampunan yang terjamin...Orang lain mungkin dapat menolong, tetapi pertolongan yang pasti datang dari Allah, yang bersedia mengangkat semua kesusahan kita setiap waktu, membiarkan kita dengan rasa kelegaan sejati karena sudah meletakkan beban kita di tangan-Nya".

Memiliki jaminan pertolongan dari Tuhan akan membuat kita menjadi orang-orang Kristen yang berani mengaku bersalah, baik kepada sesama kita terlebih kepada Tuhan.
[ Read More ]

BERANI UNTUK BERBUAT KEBAJIKAN

Orang bergaul terutama menggunakan percakapan untuk menjalin persahabatan. Meskipun pada kenyataannya sesama tunawicara juga bisa saling bergaul, dengan bahasa isyarat dan perasaan, namun dalam keadaan normal kita bergaul dengan bertukar kata. Tidak ada orang yang dapat berbicara normal tetapi tidak berkata-kata ketika bergaul. Bahkan, orang yang terlalu pendiam biasanya kurang disukai dalam pergaulan. Jadi, bicaralah.

Tapi ingat, dalam mengeluarkan perkataan kita harus berhati-hati. Salah berbicara akan membuat anda ditolak dan dijauhi, kalau bukan dimusuhi. Supaya menjamin bahwa kita akan diterima dalam suatu lingkungan pergaulan maka modal nomor satu ialah ucapan yang konstruktif (membangun), dan jauhkan perkataan yang destruktif (merusak). Semua orang suka mendengar ucapan-ucapan yang memberi dorongan semangat, pujian, dan yang membesarkan hati. [Ef. 4:29]. Sebab itulah gunanya suatu pertemanan, dan itulah juga maksud umat Tuhan itu berhimpun. [1Tes. 5:11; Rm. 14:19]. Ketidaktelitian dalam mengeluarkan kata-kata telah menjadi biang keladi dari banyak pertikaian yang tidak perlu.

"Banyak kesulitan antar pribadi berasal dari saling merendahkan, dan pada gilirannya menyakiti segenap masyarakat. Orang-orang yang terlibat dalam pergunjingan dan menyebar fitnah cenderung adalah mereka yang bermasalah--merasa rendah diri, cari perhatian, suka mengatur atau berkuasa, perasaan-perasaan kegelisahan lainnya". Orang-orang seperti ini sebetulnya perlu dikasihani dan ditolong untuk meninggalkan cara-cara mereka yang menyakitkan disebabkan oleh konflik batin mereka sendiri.

Banyak pepatah yang berbicara soal lidah. Umumnya bernuansa negatif, seperti peribahasa "Karena lidah, badan binasa" dan sebagainya. Tetapi raja Salomo mengemukakan dari sudut pandang positif ketika dia berkata, "Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di pinggan perak" (Ams. 25:11). Perhatikan frase "tepat pada waktunya" dengan huruf miring. Dalam istilah lain, kata-kata yang relevan dan proporsional. Tidak harus perkataan memuji, kata-kata teguran juga bisa menjadi bagaikan "buah apel emas" kalau itu disampaikan pada waktu dan suasana yang tepat. Sebab kata-kata pujian pun kalau salah tempat bisa dianggap sekadar soft-soaping (rayuan gombal) yang memuakkan, kalau bukan disangka ngenye'. Jadi, bicara itu harus menggunakan akal budi, jangan "asbun" (asal bunyi).

Orang Amerika terkenal sangat royal mengumbar kata-kata pujian dan dukungan. Kadang-kadang menurut "standar" kita pujian itu terasa berlebihan atau mengada-ada. Anda akan sering mendengar pujian seperti "Good job!" (bagus sekali) atau "Awesome!" (mengagumkan) atau "Terrific" (dahsyat) untuk hal-hal yang sebenarnya amat sederhana bagi kita, tapi begitulah gaya bahasa mereka dalam memberi dukungan. Dan adalah suatu dosa besar untuk mengejek atau mengecilkan orang lain dalam pergaulan di tengah masyarakat mereka--terkecuali selama masa kampanye pemilu atau pilkada, antara para politikus yang sedang bersaing! Kebiasaan menebar kata pujian dan dukungan di antara mereka ini menumbuhkan kultur dengan rasa percaya diri yang sangat besar. "Kata-kata yang mendorong semangat dan bersifat mendukung, menekankan sisi positif dari berbagai hal, kerendahan hati, dan sikap gembira adalah cara-cara yang menyokong mereka yang mempunyai masalah pribadi".

Secara umum bangsa kita agak pelit memberi pujian. Atau, kalau juga memuji, seringkali karena ada udang di balik batu. Budaya kita memang tidak mendorong sikap afirmatif, tapi lebih banyak berbicara dalam hati. Mungkin karena terlalu lama dijajah kolonialisme dan premanisme yang memberangus kebebasan berpendapat dan yang telah melahirkan generasi pemalu dan malu-maluin. Saya termasuk orang yang bertumbuh-kembang dalam kultur yang bukan saja kurang memberi motivasi dengan pujian tapi malah cenderung basosere (ngejek). Tapi itu dulu.

Yesus menawarkan hukum pergaulan yang sederhana namun sangat bermakna. Prinsip ini kemudian dikenal sebagai "hukum emas" (the golden rule) di kalangan para pelajar kitab suci. "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka" (Mat. 7:12). Kalau saja setiap hubungan pertemanan dan lingkungan pergaulan dibangun dengan hukum emas ini sebagai dasarnya, niscaya setiap hubungan antar-pribadi, antar-keluarga, antar-masyarakat, antar-suku, bahkan antar-bangsa akan berlangsung dengan harmonis. Oleh sebab setiap orang akan terdorong untuk berbuat apa saja yang baik bagi orang lain, sebagaimana mereka ingin itu dilakukan terhadap diri mereka. Ini identik dengan hukum hubungan horisontal antar-manusia yang juga diajarkan Yesus, "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri" yang kemudian dikutip dan diajarkan juga oleh Paulus dan Yakobus (Mat. 22:39, Mrk. 12:31, Luk. 10:27, Rm. 13:9, Gal. 5:14, Yak. 2:8).

"Prinsip ini dapat dianggap sebagai sebuah permata yang tak ternilai bagi hububungan-hubungan sosial. Bersifat positif, didasarkan atas kasih, bersifat universal, dan lebih luhur serta melampaui hukum manusia". Inilah undang-undang pergaulan masyarakat yang mendahulukan orang lain dalam mengasihi dan menghormati (Rm. 12:10), yang pada gilirannya akan membuat setiap orang berlomba untuk menyenangkan orang lain.

Dapatkah anda membayangkan sebuah masyarakat yang setiap orang berebutan dan berkompetisi untuk berbuat kebaikan dan kebajikan? Cermatilah bila ada pejabat tinggi atau selebriti terkenal datang ke jemaat anda, bukankah setiap orang berlomba menunjukkan rasa hormat dan kebaikan dengan mempersilakan mereka duduk di tempat terbaik dan dijamu lebih dulu dengan menawarkan makanan yang lezat-lezat? Lalu, bayangkanlah seandainya setiap orang berbuat hal yang sama terhadap orang lain. Suatu suasana yang amat menyenangkan!

Menjadi orang Kristen sejati adalah menjadi orang yang berani berbuat kebajikan kepada siapa saja, termasuk bebas menyampaikan kata-kata dukungan kepada mereka, karena kita ingin diperlakukan seperti itu juga oleh orang lain.
[ Read More ]

Gereja dalam fungsi sebagai perawatan dan pengobatan rohani

Sebuah jemaat yang ideal adalah yang terdiri atas individu-individu yang memiliki kualitas seperti yang diajarkan oleh Rasul Paulus dalam Efesus 4:25-32. Tidak ada dusta, semua berkata benar, tidak menyimpan marah, tidak suka mencuri, punya pekerjaan yang baik, suka menolong orang yang membutuhkan, tidak suka berbicara kasar, perkataan mereka halus dan bersifat membangun, tidak mau mendukakan hati Roh Kudus, tidak ada perasaan getir, tidak ada kegeraman dan amarah, tidak ada pertengkaran dan fitnah, tidak ada kejahatan, ramah, penuh kasih, dan suka mengampuni.

"Ungkapan-ungkapan yang kasar mendukakan hati Tuhan; kata-kata yang tidak bijaksana itu merusak. Saya disuruh untuk mengatakan kepada kamu, Hendaklah lembut dalam ucapanmu; perhatikan baik-baik perkataanmu; biarlah tidak ada kekasaran terdapat dalam ucapan-ucapanmu atau tindakanmu...Pengetahuan Firman Allah yang dipraktikkan dalam kehidupan akan memiliki suatu kuasa yang menyembuhkan dan menenangkan".
Apakah tuntutan-tuntutan ini terlalu berat untuk dipenuhi? Apakah memiliki satu jemaat yang perangai orang-orangnya "sempurna" seperti ini adalah kemustahilan?
Kita sering mendengar orang berkata bahwa "gereja" itu seumpama rumahsakit yang menampung pasien-pasien penyakit rohani. Dalam pengertian tertentu pengibaratan ini mungkin ada benarnya, sebab semua kita yang masuk gereja adalah orang-orang yang berdosa dan sakit rohani. Tetapi, kalau kita mengibaratkan gereja sebagai sebuah rumahsakit, untuk apakah orang masuk rumahsakit kalau bukan untuk disembuhkan dari penyakitnya? Nah, sudah berapa tahun anda masuk "rumahsakit rohani" yang bernama gereja, adakah penyembuhan rohani yang anda peroleh? Jangan-jangan penyakit rohani anda bertambah parah. Lalu, siapa yang salah?

Kalau anda sakit dan masuk rumahsakit ada dua pilihan yang bisa diperoleh: rawat-jalan atau rawat-inap. Rawat-jalan kalau penyakitnya tidak terlalu berat dan anda setuju untuk minum obat dan menurut anjuran dokter; rawat-inap jika penyakitnya parah dan membutuhkan perawatan serta penanganan medis yang intensif. Di rumahsakit para pasien rawat-inap akan memperoleh terapi medis yang dibutuhkannya, serta pengawasan 24 jam sehari. Anda tidak mungkin sembuh kalau tidak mau menjalani perawatan dan minum obat, termasuk makan menu yang disarankan dokter. Perawatan di rumahsakit adalah untuk mencari kesembuhan, tapi kadang-kadang hal itu tidak diperoleh karena kondisi anda memang sudah sangat lemah dan penyakit anda sudah mencapai stadium lanjut atau sudah tahap terminal.

Tapi tidak demikian dengan gereja, tidak ada orang sakit rohani yang separah apapun yang tak tersembuhkan, karena Tabib Agung kita adalah Maha Kuasa. Persoalannya ada pada pasien itu sendiri, apakah dia sungguh-sungguh mencari kesembuhan rohani di gereja atau masuk gereja dengan motif lain. Atau kita masuk ke gereja sambil membawa kuman dan virus dosa yang tetap kita pelihara dan tidak ingin melepaskannya.
Gereja memang menjalankan fungsi perawatan dan pengobatan rohani. Tetapi berbeda dari rumahsakit, perawatan dan pengobatan rohani di gereja tidak semata-mata dibebankan kepada pendeta, melainkan juga menjadi tanggungjawab di antara sesama anggotanya. Setiap anggota adalah perawat rohani bagi sesamanya, dengan Tuhan sebagai dokter dan Firman-Nya sebagai farmasi (instalasi obat) dan pendeta adalah apotekernya. Gereja bukanlah bangunannya, melainkan jemaatnya, orang-orang di dalamnya. "Kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri" (1Ptr. 2:9).
[ Read More ]