Facebook
RSS

BERANI UNTUK BERBUAT KEBAJIKAN

-
Firman Tuhan

Orang bergaul terutama menggunakan percakapan untuk menjalin persahabatan. Meskipun pada kenyataannya sesama tunawicara juga bisa saling bergaul, dengan bahasa isyarat dan perasaan, namun dalam keadaan normal kita bergaul dengan bertukar kata. Tidak ada orang yang dapat berbicara normal tetapi tidak berkata-kata ketika bergaul. Bahkan, orang yang terlalu pendiam biasanya kurang disukai dalam pergaulan. Jadi, bicaralah.

Tapi ingat, dalam mengeluarkan perkataan kita harus berhati-hati. Salah berbicara akan membuat anda ditolak dan dijauhi, kalau bukan dimusuhi. Supaya menjamin bahwa kita akan diterima dalam suatu lingkungan pergaulan maka modal nomor satu ialah ucapan yang konstruktif (membangun), dan jauhkan perkataan yang destruktif (merusak). Semua orang suka mendengar ucapan-ucapan yang memberi dorongan semangat, pujian, dan yang membesarkan hati. [Ef. 4:29]. Sebab itulah gunanya suatu pertemanan, dan itulah juga maksud umat Tuhan itu berhimpun. [1Tes. 5:11; Rm. 14:19]. Ketidaktelitian dalam mengeluarkan kata-kata telah menjadi biang keladi dari banyak pertikaian yang tidak perlu.

"Banyak kesulitan antar pribadi berasal dari saling merendahkan, dan pada gilirannya menyakiti segenap masyarakat. Orang-orang yang terlibat dalam pergunjingan dan menyebar fitnah cenderung adalah mereka yang bermasalah--merasa rendah diri, cari perhatian, suka mengatur atau berkuasa, perasaan-perasaan kegelisahan lainnya". Orang-orang seperti ini sebetulnya perlu dikasihani dan ditolong untuk meninggalkan cara-cara mereka yang menyakitkan disebabkan oleh konflik batin mereka sendiri.

Banyak pepatah yang berbicara soal lidah. Umumnya bernuansa negatif, seperti peribahasa "Karena lidah, badan binasa" dan sebagainya. Tetapi raja Salomo mengemukakan dari sudut pandang positif ketika dia berkata, "Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di pinggan perak" (Ams. 25:11). Perhatikan frase "tepat pada waktunya" dengan huruf miring. Dalam istilah lain, kata-kata yang relevan dan proporsional. Tidak harus perkataan memuji, kata-kata teguran juga bisa menjadi bagaikan "buah apel emas" kalau itu disampaikan pada waktu dan suasana yang tepat. Sebab kata-kata pujian pun kalau salah tempat bisa dianggap sekadar soft-soaping (rayuan gombal) yang memuakkan, kalau bukan disangka ngenye'. Jadi, bicara itu harus menggunakan akal budi, jangan "asbun" (asal bunyi).

Orang Amerika terkenal sangat royal mengumbar kata-kata pujian dan dukungan. Kadang-kadang menurut "standar" kita pujian itu terasa berlebihan atau mengada-ada. Anda akan sering mendengar pujian seperti "Good job!" (bagus sekali) atau "Awesome!" (mengagumkan) atau "Terrific" (dahsyat) untuk hal-hal yang sebenarnya amat sederhana bagi kita, tapi begitulah gaya bahasa mereka dalam memberi dukungan. Dan adalah suatu dosa besar untuk mengejek atau mengecilkan orang lain dalam pergaulan di tengah masyarakat mereka--terkecuali selama masa kampanye pemilu atau pilkada, antara para politikus yang sedang bersaing! Kebiasaan menebar kata pujian dan dukungan di antara mereka ini menumbuhkan kultur dengan rasa percaya diri yang sangat besar. "Kata-kata yang mendorong semangat dan bersifat mendukung, menekankan sisi positif dari berbagai hal, kerendahan hati, dan sikap gembira adalah cara-cara yang menyokong mereka yang mempunyai masalah pribadi".

Secara umum bangsa kita agak pelit memberi pujian. Atau, kalau juga memuji, seringkali karena ada udang di balik batu. Budaya kita memang tidak mendorong sikap afirmatif, tapi lebih banyak berbicara dalam hati. Mungkin karena terlalu lama dijajah kolonialisme dan premanisme yang memberangus kebebasan berpendapat dan yang telah melahirkan generasi pemalu dan malu-maluin. Saya termasuk orang yang bertumbuh-kembang dalam kultur yang bukan saja kurang memberi motivasi dengan pujian tapi malah cenderung basosere (ngejek). Tapi itu dulu.

Yesus menawarkan hukum pergaulan yang sederhana namun sangat bermakna. Prinsip ini kemudian dikenal sebagai "hukum emas" (the golden rule) di kalangan para pelajar kitab suci. "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka" (Mat. 7:12). Kalau saja setiap hubungan pertemanan dan lingkungan pergaulan dibangun dengan hukum emas ini sebagai dasarnya, niscaya setiap hubungan antar-pribadi, antar-keluarga, antar-masyarakat, antar-suku, bahkan antar-bangsa akan berlangsung dengan harmonis. Oleh sebab setiap orang akan terdorong untuk berbuat apa saja yang baik bagi orang lain, sebagaimana mereka ingin itu dilakukan terhadap diri mereka. Ini identik dengan hukum hubungan horisontal antar-manusia yang juga diajarkan Yesus, "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri" yang kemudian dikutip dan diajarkan juga oleh Paulus dan Yakobus (Mat. 22:39, Mrk. 12:31, Luk. 10:27, Rm. 13:9, Gal. 5:14, Yak. 2:8).

"Prinsip ini dapat dianggap sebagai sebuah permata yang tak ternilai bagi hububungan-hubungan sosial. Bersifat positif, didasarkan atas kasih, bersifat universal, dan lebih luhur serta melampaui hukum manusia". Inilah undang-undang pergaulan masyarakat yang mendahulukan orang lain dalam mengasihi dan menghormati (Rm. 12:10), yang pada gilirannya akan membuat setiap orang berlomba untuk menyenangkan orang lain.

Dapatkah anda membayangkan sebuah masyarakat yang setiap orang berebutan dan berkompetisi untuk berbuat kebaikan dan kebajikan? Cermatilah bila ada pejabat tinggi atau selebriti terkenal datang ke jemaat anda, bukankah setiap orang berlomba menunjukkan rasa hormat dan kebaikan dengan mempersilakan mereka duduk di tempat terbaik dan dijamu lebih dulu dengan menawarkan makanan yang lezat-lezat? Lalu, bayangkanlah seandainya setiap orang berbuat hal yang sama terhadap orang lain. Suatu suasana yang amat menyenangkan!

Menjadi orang Kristen sejati adalah menjadi orang yang berani berbuat kebajikan kepada siapa saja, termasuk bebas menyampaikan kata-kata dukungan kepada mereka, karena kita ingin diperlakukan seperti itu juga oleh orang lain.

Leave a Reply