Facebook
RSS

BERANI UNTUK MENGAMPUNI

-
Firman Tuhan

Adalah Dr. Robert Enright dari Universitas Wisconsin di Madison yang mendirikan Institut Pengampunan Internasional (International Forgiveness Institute) dengan tujuan untuk penelitian hal-hal yang berkaitan dengan masalah mengampuni. Dia mengembangkan apa yang disebutnya "Proses Percontohan Pengampunan 20 Langkah" yang antara lain meneliti jenis orang seperti apakah yang cenderung mudah untuk mengampuni. Studi ini menemukan bahwa mereka yang suka mengampuni adalah orang-orang yang lebih berbahagia dan lebih sehat ketimbang mereka yang menyimpan dendam. Didapati bahwa pada waktu seseorang berpikir untuk mengampuni orang lain yang bersalah kepadanya maka hal itu meningkatkan fungsi sistem kardio-vaskuler dan sistem saraf mereka. Semakin seseorang itu mengampuni sesamanya, semakin sedikit dia menderita berbagai penyakit. Sebaliknya, orang-orang yang sedikit mengampuni dilaporkan lebih banyak mengalami gangguan kesehatan.

Peneliti lain, Dr. Fred Luskin dari Universitas Stanford, menemukan dalam penelitiannya bahwa kemampuan mengampuni itu bisa dipelajari. Dan orang-orang yang diajarkan untuk mengampuni menjadi berkurang marahnya, sedikit merasa sakit hati, lebih optimistik, menjadi lebih mudah mengampuni dalam berbagai keadaan, serta menjadi lebih memiliki rasa kasih sayang dan lebih percaya diri. Studinya menunjukkan berkurangnya pengalaman stres dan akibatnya terhadap fisik, serta meningkatnya vitalitas.

Penelitian lain juga membuktikan bahwa baik sikap mengampuni yang diperoleh dari pendidikan agama maupun melalui penyuluhan umum yang bersifat ilmiah sama-sama menghasilkan efek yang serupa. Bahkan, ajaran kebatinan tradisional di Hawai mempraktikkan apa yang disebut ho-oponopono, yaitu latihan pendamaian dan pengampunan yang disertai doa. Ajaran serupa juga dikenal di berbagai suku-bangsa yang hidup di kepulauan-kepulauan kawasan Pasifik Selatan, di mana penyembuhan penyakit badani diperoleh melalui latihan mengampuni orang lain.

Di zaman modern ini tampaknya mengampuni orang lain adalah semacam barang mewah sehingga sedikit orang saja yang sanggup memilikinya. Jauh lebih murah barang-barang perlengkapan hidup yang semahal apapun. Buktinya, kesalahan yang belum diampuni dapat memicu huru-hara besar di mana orang tidak lagi menganggap harta benda itu bernilai. Gedung dihancurkan, mobil dibakar, bahkan nyawa sekalipun kehilangan harga. Permintaan maaf dari pihak yang dianggap bersalah seringkali juga tidak cukup bernilai untuk "membeli" sebuah pengampunan, terutama jika pokok pertikaian menyangkut masalah SARA (suku, agama dan ras). Itu bisa terjadi di negara-negara berkembang di mana rakyatnya "kenyang dengan kelaparan" dan itu juga dapat terjadi di negara-negara industri maju yang rakyatnya relatif hidup makmur.
Lebih merisaukan lagi kalau miskinnya pengampunan itu dialami di lingkungan orang-orang yang mengaku sebagai umat Tuhan. "Adalah suatu kenyataan hidup bahwa sebagai manusia biasa kita sering saling-silang satu sama lain dan mengakibatkan saling menyakiti, bahkan--dan terkadang secara khusus--di dalam gereja. Oleh sebab itu, alangkah pentingnya kita mempelajari seni mengampuni".

Banyak orang mengira bahwa menjadi orang Kristen itu yang penting adalah memelihara Sepuluh Perintah Allah (Sepuluh Hukum). Roh dari Kekristenan justera terdapat pada sifat suka mengampuni di antara para penganutnya. Namun soal mengampuni tampaknya sudah menjadi isu penting sejak zaman Yesus, sehingga dalam mengajarkan murid-murid-Nya untuk berdoa Ia menekankan pentingnya mengampuni orang lain. "Kalau kalian mengampuni orang yang bersalah kepadamu, Bapamu di surga pun akan mengampuni kesalahanmu. Tetapi kalau kalian tidak mengampuni kesalahan orang lain, Bapamu di surga juga tidak akan mengampuni kesalahanmu" (Mat. 6:14-15, BIS).

Tiga dasawarsa kemudian hal yang sama ditekankan lagi oleh rasul Paulus ketika menulis surat kepada jemaat di Efesus. Perhatikan tiga hal yang disebutkannya, "Hendaklah kalian baik hati dan berbelas kasihan seorang terhadap yang lain, dan saling mengampuni sama seperti Allah pun mengampuni kalian melalui Kristus" (4:32, BIS). Berdasarkan urut-urutan dalam ayat ini, agar seseorang mudah untuk mengampuni orang lain maka lebih dulu dia perlu memiliki dua sifat lain, yakni "baik hati" dan "belas kasihan." Seorang yang baik hati tentu memiliki rasa belas kasihan, dan orang yang mempunyai rasa belas kasihan pasti mudah mengampuni. Seperti kata rasul Petrus, "Dengan saling mengasihi kalian akan bersedia juga untuk saling mengampuni" (1Ptr. 4:8, BIS). Sangat masuk akal. Sebab sulit bagi anda untuk mengampuni saya kalau anda tidak lebih dulu memiliki sifat baik hati dan mengasihi saya. Bahkan, mustahil bagi orang yang tidak baik (=jahat) dan tidak berbelas kasihan (=kejam) untuk bisa mengampuni orang lain!

"Pengampunan termasuk di antara strategi yang paling menyejukkan, sekalipun kesanggupan untuk benar-benar mengampuni dan diampuni datangnya hanya dari Allah melalui sebuah hati yang diubahkan oleh Allah [Yeh. 36:26]". Benar, tidak ada pengampunan yang setara dengan pengampunan dari Allah, karena hanya pengampunan dari Dia saja dapat menghapus dosa-dosa kita. Namun demikian, pengampunan yang dituntut dari kita selaku anak-anak-Nya ialah melatih sifat-sifat yang "diturunkan" Bapa semawi itu kepada kita melalui Kristus. Pengampunan dari Bapa semawi itu tidak sekadar melayakkan kita untuk masuk surga, tetapi juga menyanggupkan kita untuk mempraktikannya terhadap sesama kita.

Menjadi orang Kristen sejati berarti menjadi seorang yang berani untuk mengampuni, tidak peduli kesalahan apapun yang telah dilakukan orang itu kepada saya!

Leave a Reply