Facebook
RSS

BERANI UNTUK BERSIKAP BAIK

-
Firman Tuhan

Dalam khasanah peribahasa kita ada yang berbunyi, "Pembalasan lebih kejam dari perbuatan." Lazimnya, peribahasa adalah cerminan dari kehidupan suatu masyarakat. Artinya, kata-kata itu bukan ungkapan kosong melainkan merupakan kenyataan hidup dan cenderung menjadi "falsafah" yang diajarkan secara turun-temurun. Dari peribahasa yang satu ini terbersit juga sebuah nasihat dan sekaligus peringatan, bahwa setiap perbuatan buruk selalu mengandung risiko dibalas, bahkan dengan cara yang lebih buruk lagi.

Hampir semua budaya memiliki falsafah yang kurang-lebih sama dengan itu. Di masyarakat Israel purba bahkan hal itu menjadi pakem yang wajib dijalankan. "Mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki, lecur ganti lecur, luka ganti luka, bengkak ganti bengkak" (Kel. 21:24, 25). Konsep hukum yang disebut lex talionis (hukum pembalasan denam) ini terus dipelihara bahkan hingga sekarang ini. Itulah sebabnya setiap serangan musuh ke wilayah Israel pasti akan selalu dibalas, terkadang dengan intensitas yang lebih dahsyat. Kita melihat itu diperagakan di Jalur Gaza.

Tatkala Yesus hidup di tengah masyarakat Yahudi lebih 2000 tahun silam tentu saja cara berpikir mereka seperti itu, bahwa setiap perbuatan yang menimbulkan kerugian atau cedera layak dibalas. Karena itu para pemuka masyarakat sangat marah dan tersinggung manakala Yesus mengajarkan paham yang berbeda. Mereka tidak bisa menerima bahwa aturan adat-istiadat yang sudah berabad-abad dijalankan itu "direduksi" (diturunkan maknanya) ketika Yesus mengajarkan bahwa kalau orang menampar pipi kananmu, berikan juga pipi kirimu. Ini bukan saja melanggar hukum adat yang sudah baku selama ratusan tahun, tetapi juga melambangkan kelemahan dan ketidakberdayaan. Namun, sementara bagi mereka ajaran "ditampar pipi kanan, berikan juga pipi kiri" itu merendahkan martabat, Yesus justeru bermaksud untuk mengangkat pola berpikir mereka kepada sesuatu yang lebih luhur.

"Yesus meningkatkan (upgraded) pendekatan 'mata ganti mata' menjadi ditampar satu pipi berikan lagi pipi yang lain [Mat. 5:39]. Ini adalah sebuah konsep revolusioner pada masa itu dan juga sekarang ini bagi banyak budaya dan tradisi". Mengapa konsep hukum yang baru dari Yesus itu disebut meninggikan gantinya merendahkan? Karena Dia sedang memperkenalkan hukum kasih agape, doktrin kasih tertinggi yang sebelumnya tidak pernah dimengerti oleh mereka. Mengapa hukum "mata ganti mata" itu ada dalam tatanan kehidupan mereka itu harus dipandang sebagai sebuah amaran agar orang tidak berbuat jahat kepada sesamanya. Prinsip dari hukum adalah untuk menjaga ketenteraman, sebagai pagar yang membatasi perilaku setiap orang demi kebaikan bersama. Hukum tidak dibuat untuk dilanggar, melainkan untuk dituruti, supaya sangsi yang melekat pada hukum itu tidak perlu diberlakukan jika semua orang telah menghormati hukum itu.

Dengan memperkenalkan konsep pendekatan baru dalam hubungan antar-manusia seperti itu, Yesus sedang memberikan "pengaruh lawan" terhadap cara berpikir manusia pada zaman itu hingga sekarang. Bukan itu saja, Ia juga sedang mengajarkan bahwa bagi orang yang bersalah hukuman batin justeru jauh lebih berat daripada sekadar hukum badan.

Hukum membalas kejahatan dengan kebaikan ini juga sebenarnya bukan barang baru bagi mereka, sebab itu sudah ada dalam kumpulan takzim leluhur mereka, raja Salomo. "Kalau musuhmu lapar, berilah ia makan; dan kalau ia haus, berilah ia minum. Dengan demikian engkau membuat dia menjadi malu, dan Tuhan akan memberkatimu" (Ams. 25:21-22, BIS, huruf miring ditambahkan). Musuh yang lapar dan haus artinya dia sedang melarat, dan dengan memberikan kepadanya kebutuhan dasar yang paling pokok (makanan) maka penderitaan batinnya akan jauh lebih berat untuk ditanggung. Tidak ada di antara kita yang meskipun hidup susah mau meminta makan dari orang yang kita musuhi, bukan? Kenapa? Sebabnya adalah masalah harga diri; padahal kita mau bertengkar dengan orang lain justeru karena masalah harga diri. Orang lebih baik mencuri untuk mengisi perut daripada dia mengemis kepada lawannya. Rasa malu sering lebih berat ditanggung ketimbang rasa lapar.

Dengan memberikan sepiring pastei apel kepada tetangga yang suka comel itu, keluarga ini telah mengubah suasana hubungan bertetangga mereka. Kalau tetangga yang suka rewel itu menerima pastei apel tersebut bukan karena mereka sedang lapar, tetapi itu diterima sebagai tanda persahabatan. "Tindakan sederhana itu telah menciptakan perbedaan dalam hubungan mereka, barangkali karena mereka tidak pernah mengharapkan sesuatu seperti itu dari orang-orang yang telah mereka perlakukan kasar terus-menerus". Atau, kemungkinan tetangga yang tadinya reseh itu ingin bersahabat dengan keluarga ini tetapi dengan cara pendekatan yang tidak bersahabat? Pada waktu kita masih kanak-kanak, bukankah kita juga suka melakukan "pendekatan" seperti itu terhadap anak baru di lingkungan kita, sengaja mengusiknya supaya berkenalan? Di masa remaja dulu ada teman-teman yang kemudian menjadi sahabat dekat setelah sebelumnya duel dulu sebagai perkenalan. Tetapi lebih baik begitu daripada berkenalan secara baik-baik lalu setelah menjadi teman baru duel!

Daud pernah mengalami kepahitan seperti itu. Semula hubungannya dengan raja Saul baik-baik saja, bahkan Daud telah menjadi pahlawan yang memenangkan "sayembara" dengan membunuh ratusan orang Filistin sehingga kepadanya Saul menghadiahkan salah seorang putrinya untuk diperistri Daud. Tetapi tatkala menantunya itu menjadi pesaing potensial untuk takhtanya, raja Saul berubah menjadi monster. Namun Daud, yang sebenarnya adalah seorang pemberang dan keras (lihat pelajaran hari Minggu), memilih untuk bersikap manis. "Daud memilih suatu sikap merendah dan saleh dalam menghadapi seseorang yang tidak baik kepadanya".

Untuk membalas kejelekan dengan kebaikan, kekasaran dengan keramahan, bahkan mengorbankan pipi kiri lagi setelah pipi kanan ditampar, memerlukan suatu keberanian moral yang hanya orang-orang dengan kematangan pribadi dan kedewasaan iman dapat melakukannya. Membalas kejahatan dengan kebaikan, di tengah masyarakat yang memegang paham balas dendam sebagai konsep yang baku, adalah suatu tindakan melawan arus yang berani. Perlu keberanian yang tidak kecil untuk berlaku "anomali" dengan risiko dihujat orang. Tetapi itulah yang diajarkan dan diteladankan Yesus kepada para pengikut-Nya, berani bersikap baik apapun situasinya.

Menjadi pengikut Kristus adalah menjadi seorang yang berani untuk bersikap baik, tidak peduli seberapa jahatnya orang itu telah perbuat kepada saya!

Leave a Reply