Facebook
RSS

Hubungan dengan sesama

-
Firman Tuhan

Manusia yang diciptakan sebagai makhluk sosial membuat setiap orang saling membutuhkan. Bahkan, bukan saja saling membutuhkan, tetapi manusia juga perlu untuk sayang-menyayangi. Ada kebutuhan batin dalam diri setiap orang untuk mengasihi dan dikasihi. Kalau kita hanya membatasi diri pada sekadar membutuhkan orang lain, tanpa rasa saling menyayangi, maka terjadilah apa yang disebut "exploitation de l'homme par l'homme" (penindasan manusia atas manusia).

Meskipun semua manusia ditakdirkan untuk membutuhkan orang lain, tetapi hubungan dengan sesama tidak serta-merta terjadi dalam lingkungan yang luas dengan melibatkan banyak orang sekaligus. Ada tahapan-tahapan di mana seseorang belajar mengenali orang lain dalam lingkungan terbatas, baru kemudian berkembang menjadi semakin meluas sejalan dengan perkembangan fisik dan mental. Seorang bayi yang baru lahir di awal pertumbuhannya hanya membutuhkan ibunya, lalu ayah dan keluarga langsung. Dengan bertambahnya umur, dari balita (di bawah lima tahun) sampai usia remaja, ada kebutuhan untuk bersosialisasi dengan orang-orang di luar keluarganya sendiri, seperti teman-teman sebaya ditambah orang-orang yang lebih dewasa. Baru setelah mencapai usia "kematangan sosial" maka dia akan membutuhkan siapa saja dalam kehidupannya.

Dari segi keintiman, sebagaimana kita tahu dan alami sendiri, seorang dewasa membutuhkan satu teman dekat (normalnya, yang berlainan jenis) yang sering disebut sebagai belahan-jiwa (soul mate) dengan siapa dia bebas mengekspresikan diri. Lalu ada beberapa orang lain (biasanya sesama jenis) sebagai sahabat-sahabat karib yang sangat dipercayainya (alter ego) yang dalam banyak kasus seseorang bahkan siap berkorban demi sobat kentalnya itu. Hubungan sosial ini kemudian meluas kepada keluarga dekat dan sanak famili serta lingkungan pergaulan yang lebih luas seperti teman-teman sebaya (peer), teman-teman sekerja, kawan-kawan dalam satu aktivitas, kerukunan tetangga, kerukunan etnis, dan sebagainya. Bagi seorang yang taat beragama maka dia tentu juga memiliki lingkup sosial dengan orang-orang dalam satu komunitas keagamaan secara lokal (jemaat, bagi orang Kristen). Inilah antara lain lingkungan pergaulan di mana seseorang merasa menjadi bagian dan di mana dirinya merasa diterima. Rasa berterima (acceptance) inilah yang membuat seseorang betah dan senang berada bersama orang-orang lain itu.

Salah satu prasyarat mendasar yang harus dimiliki seseorang dalam interaksi antar-pribadi adalah akuntabilitas diri (hal dapat dipercaya). Kita merasa aman dan nyaman bila berada dekat dan bercengkerama dengan orang-orang lain yang bisa dipercaya, dan untuk itu kita juga harus terlebih dulu menampilkan dan membuktikan diri sebagai orang yang dapat dipercaya. Mengapa tidak cukup hanya "menampilkan" tetapi juga harus "membuktikan" bahwa dirinya layak dipercaya? Sebab kalau hanya sebatas tampilan luar saja itu hanyalah kesan semu atau artifisial, yang segera akan terkuak kemudian pada situasi "kritis" di mana jatidiri seseorang akan terungkap. Jika seseorang memang memiliki sifat kejujuran yang tulus sehingga dia bisa dipercaya sebagaimana kesan yang ditampilkannya, maka itu akan terbukti pada keadaan yang genting. Gagal membuktikan diri sebagai orang yang bisa dipercaya maka anda akan kehilangan tempat di lingkungan pergaulan anda dan segera dikucilkan. Kalau ini terjadi, teramat sulitlah bagi seseorang untuk mendapatkan kembali kepercayaan. Seperti kata pepatah, "Sekali lancung ke ujian, seumur hidup tak dipercaya."

Lingkungan pergaulan terkadang juga bersifat eksklusif, yaitu hanya terdiri dari orang-orang dengan minat yang sama serta tujuan dan kepentingan yang sama. Misalnya sebuah klub, atau juga perserikatan. Bagi mereka yang merasa memiliki "perjuangan" yang sama maka akan didirikanlah partai politik atau perhimpunan dengan platform yang sama. Bahkan orang-orang yang bertujuan untuk hal-hal negatif pun bisa berhimpun dalam suatu kelompok, contohnya seperti "geng motor" yang sedang marak di tanah air yang niatnya lebih banyak bersifat destruktif. Meskipun begitu, tidak ada "perkumpulan orang-orang culas" yang kita dengar pernah didirikan orang, kecuali sekadar olok-olok saja. Sekalipun di dunia mafia atau kelompok kriminal yang notabene adalah orang-orang yang anti-sosial, orang culas menjadi musuh bersama mereka. Artinya, kejujuran diperlukan dalam lingkup pergaulan sosial apa saja.

Dalam konteks keberagamaan, hubungan tidak hanya yang bersifat horisontal di antara sesama manusia. Keberagamaan juga melibatkan hubungan vertikal, yaitu antara diri pribadi dengan Tuhan. Orang bisa saling "membohongi" dan memanfaatkan orang lain untuk maksud dan kepentingan tertentu--dalam lingkungan keagamaan sekalipun. Itulah sebabnya orang-orang yang datang berbakti pada waktu yang sama, berkumpul di tempat yang sama, mendengar khotbah yang sama, membaca dan belajar Firman Allah yang sama, bahkan bernaung dalam satu organisasi keagamaan yang sama, namun bisa berlaku culas antara satu sama lain. Agama sejatinya adalah upaya mendekatkan diri dengan Tuhan secara vertikal, kedekatan antar pribadi secara horisontal adalah bukti bahwa kita telah memiliki hubungan yang benar dengan Allah yang benar!

Leave a Reply