Facebook
RSS

Bagaimana Menghargai Orang Lain

Suatu kali, di sebuah acara gathering perpisahan sederhana pengunduran diri seorang direktur. Diadakan sebuah sesi acara penyampaian pesan, kesan, dan kritikan dari anak buah kepada mantan atasannya yang segera memasuki masa pensiun dari perusahaan tersebut.

Karena waktu yang terbatas, kesempatan tersebut dipersilahkan dinyatakan dalam bentuk tulisan. Diantara pujian dan kesan yang diberikan, dipilih dan dibingkai untuk diabadikan kemudian dibacakan di acara tersebut, yakni sebuah catatan dengan gaya tulisan coretan dari seorang office boy yang telah bekerja cukup lama di perusahaan itu.

Dia menulis semuanya dengan huruf kapital sebagai berikut, "Yang terhormat Pak Direktur. Terima kasih karena Bapak telah mengucapkan kata "tolong", setiap kali Bapak memberi tugas yang sebenarnya adalah tanggung jawab saya. Terima kasih Pak Direktur karena Bapak telah mengucapkan "maaf", saat Bapak menegur, mengingatkan dan berusaha memberitahu setiap kesalahan yang telah diperbuat karena Bapak ingin saya merubahnya menjadi kebaikan.

Terima kasih Pak Direktur karena Bapak selalu mengucapkan "terima kasih" kepada saya atas hal-hal kecil yang telah saya kerjakan untuk Bapak.Terima kasih Pak Direktur atas semua penghargaan kepada orang kecil seperti saya sehingga saya bisa tetap bekerja dengan sebaik-baiknya, dengan kepala tegak, tanpa merasa direndahkan dan dikecilkan. Dan sampai kapan pun bapak adalah Pak Direktur buat saya. Terima kasih sekali lagi. Semoga Tuhan meridhoi jalan dimanapun Pak Direktur berada. Amin."

Setelah sejenak keheningan menyelimuti ruangan itu, serentak tepuk tangan menggema memenuhi ruangan. Diam-diam Pak Direktur mengusap genangan airmata di sudut mata tuanya, terharu mendengar ungkapan hati seorang office boy yang selama ini dengan setia melayani kebutuhan seluruh isi kantor.

Pak Direktur tidak pernah menyangka sama sekali bahwa sikap dan ucapan yang selama ini dilakukan, yang menurutnya begitu sederhana dan biasa-biasa saja, ternyata mampu memberi arti bagi orang kecil seperti si office boy tersebut. Terpilihnya tulisan itu untuk diabadikan, karena seluruh isi kantor itu setuju dan sepakat bahwa keteladanan dan kepemimpinan Pak Direktur akan mereka teruskan sebagai budaya di perusahaan itu.

Tiga kata "terimakasih, maaf, dan tolong" adalah kalimat pendek yang sangat sederhana tetapi mempunyai dampak yang positif. Namun mengapa kata-kata itu kadang sangat sulit kita ucapkan? Sebenarnya secara tidak langsung telah menunjukkan keberadaban dan kebesaran jiwa sosok manusia yang mengucapkannya. Apalagi diucapkan oleh seorang pemimpin kepada bawahannya.

Pemimpin bukan sekedar memerintah dan mengawasi, tetapi lebih pada sikap keteladanan lewat cara berpikir, ucapan, dan tindakan yang mampu membimbing, membina, dan mengembangkan yang dipimpinnya sehingga tercipta sinergi dalam mencapai tujuan bersama.

Sesungguhnya, kepada siapapun kita perlu membiasakan mengucapkankata-kata pendek seperti terima kasih, maaf, dan tolong dimana pun, kapan pun, dan dengan siapa pun kita berhubungan. Dengan cara kita selalu menghargai orang lain maka kita telah menghargai diri kita sendiri.
[ Read More ]

SAHABAT SEJATI

Amsal 18:24

Ada teman yang mendatangkan kecelakaan, tetapi ada juga sahabat yang lebih karib daripada seorang saudara.

Sahabat sejati adalah aset yang sangat baik, tapi apakah anda memilikinya? Mari kita gali lagi arti menjadi sahabat baik itu.

Seorang sahabat yang baik selalu menjagai kita. Dengan memiliki seorang sahabat, kita bisa mengajaknya mendiskusikan hal-hal tertentu yang membutuhkan pemikiran mendalam. Masukan dan pemikiran sahabat dapat memperluas wawasan sehingga menolong saat pengambilan keputusan bisa akurat. Karenanya, orang yang kita ‘incar’ untuk menjadi sahabat seharusnya adalah seorang yang memiliki kualitas hidup tertentu.

Janganlah tergoda untuk bersahabat dengan orang-orang yang punya pengalaman hidup serupa dengan kita (apalagi jika pengalaman hidup yang negatif karena biasanya kita akan lansung merasa senasib). Jika untuk berteman saja kita melakukan seleksi, apalagi jika ingin membangun persahabatan! Pilihlah sahabat-sahabat anda. Hanya mereka yang memiliki hidup teruji yang dapat menjaga kehidupan sahabatnya.

Seorang sahabat yang baik adalah mereka yang dengan tulus ikut bersukacita saat kita sedang diberkati. Ia tidak akan pernah memanipulasi hubungan demi kepentingannya sendiri. Kecenderungannya bahkan rela mengorbankan diri demi kepentingan sahabatnya. Itu sebabnya ketulusan, keterbukaan, dan kemampuan untuk berempati harus dimiliki setiap orang yang ingin membangun sebuah persahabatan yang langgeng.

Jangan hanya sekedar memiliki sahabat, tapi temukanlah sahabat yang memiliki kualitas hidup yang teruji.
[ Read More ]

Mungkin Kita Telah Melukai Hati Seseorang

Sudah beberapa minggu, ibu itu terbaring sakit. Badannya demam tak kunjung reda. Tubuhnya lemah tak bertenaga. Sanak saudara telah membawanya ke balai pengobatan, tetapi semua obat dan perawat seolah
tak bisa menyembuhkan penyakitnya. Dokter pun tak tahu harus bilang apa, selain memintanya untuk bersabar dan terus berobat. "Mungkin," demikian pikir orang-orang yang menjenguknya, "sudah dekat ajal sang ibu." Tapi ibu itu belumlah terlalu renta. Sebelum terbaring sakit ia masih sempat memanen ubi di pematang.

Ketika asa hampir terputus, anak bungsu yang telah lama meninggalkan desa datang. Ia tersungkur, memohon ampun pada sang ibu. Segera setelah tetes air mata sang bungsu menitik, ibu itu bangun, pandangannya
berbinar, dan dengan lemah mengucap syukur, bungsunya telah kembali. Ah, tubuh yang sakit bisa disembuhkan oleh obat dan ramuan.
Tapi hati yang terluka hanya bisa dibebaskan oleh jiwa yang tulus. Mungkin sedikit banyak, kita telah melukai hati seseorang.
Dan,tak ada waktu yang lebih baik, selain saat ini, untuk memulihkannya.
Kita hanya perlu sedikit ketulusan saja.
[ Read More ]

MULAILAH MEMBERI

Bila tak seorang pun berbelas kasih pada kesulitan anda.
Atau, tak ada yang mau merayakan keberhasilan anda.
Atau tak seorang pun bersedia mendengarkan, memandang,
memperhatikan apa pun pada diri anda. Jangan masukkan ke dalam hati.

Manusia selalu disibukkan oleh urusannya sendiri.
Manusia kebanyakan mendahulukan kepentingannya sendiri.
Anda tak perlu memasukkan itu ke dalam hati.
Karena hanya akan menyesakkan dan membebani langkah anda.

Ringankan hidup anda dengan memberi pada orang lain.
Semakin banyak anda memberi semakin mudah anda memikul hidup ini.
Berdirilah di depan jendela, pandanglah keluar.
Tanyakan pada diri sendiri, apa yang bisa anda berikan pada dunia ini.
Pasti ada alasan kuat mengapa anda hadir di sini.
Bukan untuk merengek atau meminta dunia menyanjung anda.
Keberadaan anda bukan untuk kesia-siaan.

Bahkan seekor cacing pun dihidupkan untuk menggemburkan tanah.
Dan, sebongkah batu dipadatkan untuk menahan gunung.
Alangkah hebatnya anda dengan segala kekuatan yang tak
dimiliki siapapun untuk mengubah dunia.
Itu hanya terwujud bila anda mau memberikannya
[ Read More ]

Redefinisi Makna Kekudusan—Sebuah saran dari Seorang Kristen yg Dikuduskan

“Kudus” apa arti kata itu ditelinga anda sebagai orang Kristen?

Selama ini kita diajar bahwa kudus berarti “suci, tak bernoda, terpisah, tidak bercampur, tidak kompromi.”

Defenisi diatas adalah benar, karena sebagai orang Kristen kita memang diajar tentang karakter Allah yang terpisah dari dunia dan memuntut kita untuk menjadi kudus sama seperti Allah adalah kudus (1 Pet. 116). Dan, sebagai orang Kristen kita diharapkan untuk hidup kudus, dan tidak kompromi dengan dunia ini. Tapi, benarkah “kudus” selalu berarti keterpisahan dari dunia dengan segala dosanya? Bolehkah kita sebagai orang Kristen mendefenisikan “kudus” dengan “keterlibatan (engagement)” kepada dunia?

Mungkin konsep ini tidak akan mendapat persetujuan dari banyak orang Kristen. Tapi mari lihat beberapa alasan berikut:

1. Yesus adalah Allah dan karena Dia adalah Allah maka Dia kudus adanya. Tapi, yang Yesus lakukan justru adalah datang ke dunia. Ia melibatkan diri dengan dunia, menjadi sama dengan manusia (inkarnasi), bergaul dengan orang berdosa, makan bersama mereka. Nah, apakah dengan berlaku demikian Yesus menjadi tidak kudus? Orang yang menjawab “ya” bisa dipastikan dia adalah orang sesat!

2. Yesus berkata: “Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu” (Yoh. 20:21). Apa makna perintah ini bagi kita? Apakah ini berarti jangan bergaul dengan dunia? Apakah ini berarti menghindar dari dunia dan membentuk kelompok “orang suci”? Tentu tidak! Yesus diutus Bapa ke dunia untuk menyelamatkan dunia. Berdasarkan misi yang sama, kita para murid juga diutus ke dunia untuk menyelamatkan dunia ini dalam nama Yesus. Nah, yang menjadi pertanyaan, bisakah kita menyelamatkan dunia dengan hanya berteman dengan orang Kristen dan hanya bergaul dengan orang-orang Kristen, menghabiskan hari2 kita hanya dengan orang-orang Kristen dan tidak mau bergaul dengan dunia ini dengan segala pergumulannya? Saya rasa kita tahu jawabannya.

Nah, kudus dalam pertimbangan diatas, masih tetap berbicara tentang kesucian, kemurnian, ketidakberdosaan, tapi kudus dalam pertimbangan diatas juga berarti keterlibatan terhadap dunia demi menjalankan misi Tuhan Yesus. Pertanyaannya, masihkah kita mau meneladani Yesus dalam segala kekudusanNya? Jika Ya, keluar dari zona nyamanmu dan datanglah ke dunia ini membawa kasih Yesus. Ketika kita melakukan itu, jangan kuatir, kita masih tetap orang kudus.
[ Read More ]

Masalah Menghadirkan Kekuatan Iman.

Ketika kita di perhadapkan pada suatu masalah, maka masalah itu merupakan sebuah tantangan untuk kita dapat memperkuat kekuatan iman kita.

Masalah merupakan batu loncatan untuk kita dapat bertumbuh dan berkembang dalam kasih Tuhan Yesus.. kita tidak pernah menyadari bawasannya hidup kita akan terus di perhadapkan dengan berbagai masalah.. namun kita jangan takut atau merasa tersisi, kita harus percaya dan yakin bahwa setiap masalah yang kita hadapi akan memberikan kontribusi yang berniali positif dalam kehidupan kita selanjutnya..

Dari penjelasan singkat ini, saya mengajak kita semua agar senantiasa merengkan arti kehidupan kita dalam segala aspek.. kita tidak perlu takut atau lari dari permasalah, namun kita harus menghadapinya dengan penuh tanggung jawab serta menyelesaikannya dengan bantuan Kristus Yesus itulah hal pokok yang perlu kita kerjakan...

Banyak orang merasa tersisih atau kalah karena mereka tidak bisa menerima setiap masalah yang datang dengan penuh kasih serta kesetian dalam mencari solusinya dalam tangan Tuhan.

Gagal bukan berarti kita kalah tapi gagal adalah sesuatu yang tertunda yang perlu kita perbaiki di berbagai aspek kehidupan kita... jangan pernah takut akan gagal karena dengan adanya gagal maka kita akan semakin kuat dalam iman akan Tuhan Yesus.

Teruslah berkarya sebab kasih dan cinta Tuhan senantiasa menolong kita...
[ Read More ]

Tiada Ketaatan Tanpa Pengorbanan

(Yesaya 50:4-9, Mazmur 31:9-16, Filipi 2:5-11, Markus 14:1-15:47)

Bagi Rasul Paulus, Yesus Kristus adalah pondasi, pusat, fokus yang memberi arti dan makna bagi hidupnya. Motivasi hidup rohani Paulus tidak lagi dijalani karena ketakutan akan tuntutan hukum-hukum agama belaka. Ketaatan model ini adalah ketaatan karena ketakutan. Ketaatan ini adalah ketaatan semu. Paulus tidak memilih itu. Melainkan, ketaatannya kepada Allah kini ialah karena anugerah kasih sayang Allah yang nyata dalam pribadi Yesus Kristus. Di dalam pribadi Yesus Kristus, Paulus melihat ketaatan yang benar dan sejati, yaitu ketaatan yang disertai dengan pengorbanan (Flp 2:5-11). Keyakinan ini sungguh memberi damai sejahtera tersendiri bagi hidupnya dan ia mendorong Gereja Filipi untuk memiliki ketaatan seperti Kristus itu, ketaatan yang karena didasari oleh cinta kasih, maka bersedia untuk berkorban, menderita demi kebaikan bersama.

Waktu itu, ada gejolak dalam kehidupan Gereja Filipi. Dari luar, mereka menghadapi aniaya dari orang-orang yang tidak menyukai keberadaan mereka. Dari dalam, ada beberapa orang anggota jemaat yang saling berseteru satu sama lain (Flp 4:2). Belum lagi guru-guru palsu yang membingungkan Gereja dengan ajarannya (Flp 3:2). Oleh sebab itu menjadi perlu, jemaat ini mengingat kembali “ketaatan yang berkorban”, yang telah ditunjukkan oleh Kristus, agar mereka dapat berdamai dengan Allah, dengan diri sendiri dan dengan orang lain. Nasihat yang Paulus berikan untuk Gereja Filipi ini bukanlah nasihat yang gampangan, karena suratnya ini ia tulis dari dalam rumah tahanan di Roma pada masa tahanannya karena memberitakan Injil Kristus. Paulus menyemangati jemaat dengan teladannya juga. Paulus telah menghidupi juga “ketaatan yang berkorban” itu.

Kadang di dalam menghadapi kesusahan, rasa malu dan penderitaan, seseorang biasanya bereaksi di “keempat penjuru mata angin” dirinya, demikian diungkap seorang psikolog. Di sisi utara, orang itu menyerang orang lain dengan kebencian dan balas dendam. Di sisi selatan, orang itu menyerang diri sendiri dengan mengambil tindakan-tindakan yang menyakiti dirinya sendiri. Di sisi barat, orang itu dapat menunjukkan kepada orang lain dengan keras segala egonya dan menolak segala kesusahan dan rasa malu. Di sisi timur, orang itu menarik diri dari komunitasnya dan merasa diri tidak berharga. Dalam Yesaya 50:4-9 kita menjumpai, hamba Allah tidak memilih reaksi-reaksi destruktif yang seperti itu. Saat menemui kesusahan, rasa malu dan penderitaan, Ia tidak menyerang balik atau balas dendam, atau menyakiti diri sendiri. Ia tidak menjauh dari komunitasnya, melainkan tetap tinggal di dalamnya. Demikianlah kita mendapati gambaran sosok hamba Allah itu juga dalam diri Yesus Kristus. Ketaatan-Nya adalah ketaatan yang bersedia untuk berkorban (Mrk 14:1-15:47).

Kristus yang telah menjadi teladan Paulus, kini menjadi teladan kita dalam hal ketaatan kepada Allah. Sebagai pengikut Kristus, kita juga dipanggil menjadi hamba-Nya. Menjadi hamba Tuhan yang taat dan bersedia berkorban memang tidak mudah. Tetapi kepada hamba-Nya yang taat, Allah selalu bersedia memberikan pertolongan yang meneguhkan hati (Yes 50:7,9). Di dalam keteguhan hati itu, hamba-Nya dimampukan untuk terus maju dalam pergumulan melawan kesusahan dalam ketaatan yang berkorban kepada Allah (Yes 50:8, Mrk 13:42). Untuk kita renungkan, seperti apa ketaatan kita kepada Allah akhir-akhir ini? Jika kita menemui kesusahan, rasa malu dan penderitaan dalam menjadi hamba-Nya, bagaimana tanggapan kita?
[ Read More ]

Taat dalam Persekutuan dengan Kristus

Pembacaan Injil Matius 4:1-11 menceritakan kisah tentang bagaimana sikap Tuhan Yesus yang memilih setia dan taat kepada Allah daripada kepada Iblis. Sikap Tuhan Yesus tersebut sangat berbeda dengan Adam sebagai manusia pertama. Adam lebih memilih untuk taat kepada Iblis, sehingga menyeret seluruh umat manusia kedalam kuasa dosa. Jika manusia pertama menyeret umat manusia kepada maut dan hukuman Allah, tidak demikian halnya dengan Tuhan Yesus, yang terbukti mampu bersikap taat kepada Allah saat Dia dicobai.

Kemenangan Tuhan Yesus di Padang Gurun tersebut membuktikan bahwa Dialah Mesias yang mampu membawa manusia kepada keselamatan dan Hidup yang kekal. Itu sebabnya Paulus mengatakan dalam Roma 5:17: Sebab, jika oleh dosa satu orang, maut telah berkuasa oleh satu orang itu, maka lebih benar lagi mereka, yang telah menerima kelimpahan kasih karunia dan anugerah kebenaran, akan hidup dan berkuasa oleh karena satu orang itu, yaitu Yesus Kristus.

Mengikut Yesus berarti kita bersedia meneladani Kristus yang senantiasa taat kepada kehendak Allah. Ketaatan kepada Allah hanya dimungkinkan jika kita memiliki hubungan personal yang baik dengan Allah. Semakin dalam kualitas persekutuan atau hubungan personal kita dengan Allah, maka kita akan semakin mampu melawan setiap godaan atau pencobaan yang datang dalam kehidupan kita. Dengan demikian kita akan menjadi seperti Kristus yang berhasil lolos dari jeratan Iblis.

Kiranya Tuhan menolong dan memampukan kita untuk memiliki ketaatan didalam persekutuan dengan Kristus.
[ Read More ]

Taat pada kehendak Bapa

Baca: Matius 26:36-46

Semakin dekat dengan waktunya, semakin tegang pula suasananya. Paling tidak itulah yang dirasakan Yesus. Sebagai Anak Manusia, Yesus merasa gentar, bahkan mungkin juga bimbang. Namun tekad-Nya tak surut untuk menaati kehendak Allah.

Agar misi Allah terwujud tuntas dalam diri-Nya, Yesus mengharapkan dukungan, baik dari Allah Bapa, Sumber kekuatan sejati, maupun dari para sahabat-Nya, yaitu para murid-Nya, berupa dukungan doa dan moral. Oleh sebab itu, Ia berdoa di Taman Getsemani dan membawa ketiga murid terdekat-Nya untuk mendampingi Dia berdoa. Sayang, daging para murid yang lemah (ayat 41) membuat mereka gagal untuk memberikan dukungan kepada Yesus yang sangat membutuhkan. Mereka hanya bisa tertidur lelap tanpa beban dan pergumulan seperti Yesus. Mereka bukan hanya gagal mendukung Yesus, tetapi juga sendiri gagal dalam mengantisipasi kedahsyatan peristiwa penangkapan Yesus.

Manusia boleh gagal memberikan dukungan, tetapi Allah tidak pernah gagal. Ketika kita datang berharap kepada Allah Bapa dengan segala pergumulan kita maka Ia yang mem-punyai rencana terindah dalam hidup akan memberikan jalan keluar kepada kita. Inilah yang Tuhan Yesus alami. Melalui persekutuan dengan Bapa dan ketaatan penuh kepada kehendak-Nya, Yesus sungguh mengerti isi hati dan kehendak Bapa-Nya secara pasti. Bahwa memang tidak ada jalan lain, selain jalan salib yang olehnya manusia mendapatkan penebusan dosa dan keselamatan. Yesus sungguh menda-patkan penghiburan dan kekuatan sehingga dapat menang atas pergumulan dan siap menghadapi jalan salib dengan mantap.

Bersyukur kepada Allah, Tuhan Yesus melepas kehendak diri-Nya demi ketaatan pada kehendak Bapa sehingga hari ini kita beroleh anugerah keselamatan. Maukah kita melepas ambisi dan keinginan pribadi kita agar karya keselamatan-Nya dialami pula oleh orang lain?
[ Read More ]

KASIH SEJATI: Dasar Ketaatan (1)

Baca: Yohanes 15:9-11

"Jikalau kamu menuruti perintahKu, kamu akan tinggal di dalam kasihKu, seperti Aku menuruti perintah BapaKu dan tinggal di dalam kasihNya." Yohanes 15:10

Dari pembacaan firman Tuhan hari ini ada tiga unsur penting yang terkandung di dalamnya yaitu kasih, ketaatan dan sukacita. Berbicara tentang kasih erat hubungannya dengan kekristenan. Ayat 9 berbicara tentang kasih Allah kepada AnakNya yang tunggal yaitu Yesus Kristus, kasih Yesus Kristus kepada Bapa dan juga kasih Yesus Kristus kepada umatNya.

Kasih yang bagaimana? Dunia mengenal kasih tapi bukan kasih yang sejati, melainkan kasih yang bersyarat. Banyak orang berkata, "Aku mengasihi kamu karena kamu mengasihi aku. Aku akan berbuat baik kepadamu karena selama ini kamu berbuat baik padaku." dan sebagainya. Prinsip dunia: mengasihi setelah memperoleh imbalan; memberi setelah menerima. Itulah praktek kasih menurut pola dunia. Jadi, di manakah kita dapat menemukan kasih yang sejati itu? Kasih sejati timbul atau berasal dari sumber kasih itu sendiri yaitu Allah. Kasih sejati yang dimaksud bukan sekedar luapan emosi, tapi merupakan suatu pribadi. Jadi kasih itu bukanlah sekedar sifat atau bentuk emosi tertentu dari Allah, tetapi kasih adalah eksistensi Allah itu sendiri yang dinyatakan secara total melalui pengorbanan Yesus Kristus di atas kayu salib, mati untuk menebus dosa kita. Ada tertulis: "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan AnakNya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal." (Yohanes 3:16).

Bagaimana suypaya kita dapat mengalami atau hidup di dalam kasih Tuhan? Dikatakan demikian: "Jikalau kamu menuruti perintahKu, kamu akan tinggal di dalam kasihKu, seperti Aku menuruti perintah BapaKu dan tinggal di dalam kasihNya." (Yohanes 15:10). Untuk dapat hidup di dalam kasih Tuhan kita harus menuruti perintah Tuhan dan taat kepada kehendakNya. Kasih itu berkaitan dengan ketaatan. Tuhan Yesus sendiri telah memberikan teladan kepada kita dalam hal ketaatan. Sejauh mana ketaatan Tuhan Yesus terhadap Bapa? Ketaatan Tuhan Yesus terhadap Bapa adalah sampai kematianNya di atas kayu salib (baca Filipi 2:5-11). Secara manusia Yesus tidak sanggup menghadapi pergumulan yang sedang Ia jalani yaitu harus mengalami penderitaan yang berat, bahkan sampai mati di atas kayu salib demi menanggung dosa kita.
[ Read More ]

Kekudusan Tubuh

Tuhan menghendaki kita untuk berubah—namun menurut gambar-Nya, bukan gambar dunia, dengan menerima gambar-Nya di dalam wajah kita.

Saya baru saja kembali dari sebuah kunjungan dimana saya disambut ke dalam dunia cucu mungil paling baru kami, Elizabeth Claire Sandberg. Dia sempurna! Saya terpesona, seperti setiap kali saya melihat bayi yang baru lahir, dengan jari-jari tangan, jari-jari kaki, rambut, detak jantung, hidung, dagu, lesung pipi, dan karakteristik khusus keluarganya. Saudara-saudara lelaki dan perempuannya yang lebih tua sama gembira dan terpesonanya dengan adik perempuan mungil mereka yang sempurna. Mereka seolah-olah merasakan kekudusan di dalam rumah mereka sejak kehadiran roh selestial yang baru yang dipersatukan dengan tubuh jasmaninya yang murni.

Dalam kehidupan prafana kita belajar bahwa tubuh adalah bagian dari rencana kebahagiaan Allah yang besar bagi kita. Sebagaimana dinyatakan dalam pernyataan keluarga: “Para putra dan putri roh mengenal dan menyembah Allah sebagai Bapa Kekal mereka serta menerima rencana-Nya melalui mana anak-anak-Nya dapat memperoleh tubuh jasmani dan mendapatkan pengalaman duniawi untuk maju ke arah kesempurnaan dan pada akhirnya mencapai tujuan ilahinya sebagai seorang ahli waris kehidupan kekal” (“Keluarga: Pernyataan kepada Dunia,” Liahona, Oktober 2004, 49). Sesungguhnya, kita “bersorak-sorai” (Ayub 38:7) menjadi bagian dari rencana ini.

Mengapa kita sangat bahagia? Kita memahami kebenaran-kebenaran kekal tentang tubuh kita. Kita mengetahui bahwa tubuh kita akan serupa dengan gambar Allah. Kita mengetahui bahwa tubuh kita akan menjadi tempat tinggal roh kita. Kita juga memahami bahwa tubuh kita akan tunduk pada rasa sakit, penyakit, kecacatan, dan godaan. Namun kita bersedia, bahkan ingin sekali, menerima tantangan-tantangan ini karena kita mengetahui bahwa hanya dengan roh dan unsur yang bersatu tak terpisahkan kita tumbuh untuk menjadi seperti Bapa Surgawi (lihat A&P 130:22) serta, “menerima kegenapan sukacita” (A&P 93:33).

Dengan kegenapan Injil di bumi, sekali lagi kita memiliki kesempatan istimewa untuk mengetahui kebenaran-kebenaran tentang tubuh ini. Joseph Smith mengajarkan: “Kita datang ke bumi ini agar kita dapat memiliki tubuh dan mempersembahkannya dalam keadaan murni di hadapan Allah di Kerajaan Selestial. Asas kebahagiaan yang besar terdiri dari memiliki tubuh. Iblis tidak memiliki tubuh, dan di sini dia menjalani hukumannya” (The Words of Joseph Smith, diedit oleh Andrew F. Ehat and Lyndon W. Cook [1980], 60).

Setan memahami kebenaran- kebenaran kekal yang sama ini mengenai tubuh, namun hukumannya adalah bahwa dia tidak memiliki tubuh. Oleh karena itu dia berusaha melakukan semampunya untuk membuat kita merundung atau menyalahgunakan karunia yang berharga ini. Dia telah memenuhi dunia dengan kebohongan dan tipu muslihat mengenai tubuh. Dia menggoda banyak orang untuk mencemari karunia tubuh yang berharga ini melalui ketidakmurnian, ketidaksopanan, pemuasan diri, dan kecanduan. Dia merayu beberapa orang untuk memandang rendah tubuh mereka; kepada yang lain dia menggoda untuk menyembah tubuh mereka. Juga, dia membujuk dunia untuk menganggap tubuh sebagai suatu benda. Untuk menghadapi begitu banyak kekeliruan yang menyesatkan mengenai tubuh, saya ingin mengangkat suara saya hari ini dalam mendukung kekudusan tubuh. Saya bersaksi bahwa tubuh adalah sebuah karunia, untuk diperlakukan dengan rasa syukur dan hormat.

Tulisan suci menyatakan bahwa tubuh adalah bait suci. Yesus Sendirilah yang pertama-tama membandingkan tubuh-Nya dengan bait suci (lihat Yohanes 2:21). Kemudian Paulus menasihati orang-orang Korintus, kota yang jahat yang penuh dengan segala macam nafsu dan ketidaksenonohan: “Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu? Jika ada orang yang membinasakan bait Allah, maka Allah akan membinasakan dia. Sebab bait Allah adalah kudus dan bait Allah itu ialah kamu” (1 Korintus 3:16–17).

Apa yang akan terjadi jika kita sungguh-sungguh memperlakukan tubuh kita sebagai bait suci? Hasilnya adalah suatu peningkatan dramatis dalam kesucian, kesopanan, ketaatan terhadap Kata-Kata Bijaksana, dan peningkatan serupa dalam hal pornografi dan perundungan, karena kita akan menganggap tubuh, seperti bait suci, sebagai tempat yang kudus bagi Roh. Sama seperti tidak ada hal yang tidak bersih dapat memasuki bait suci, kita akan sangat berhati-hati untuk menjaga hal-hal yang tidak murni dalam bentuk apa pun untuk memasuki bait suci tubuh kita.

Demikian juga, kita akan menjaga bagian luar tubuh bait suci kita agar terlihat bersih dan indah untuk memancarkan sifat kekudusan dan kesucian dari apa yang terdapat di dalamnya, sama seperti yang dilakukan Kristus dengan bait suci-Nya. Kita hendaknya berpakaian dan berperilaku dengan cara-cara yang memancarkan kekudusan roh yang ada di dalam diri kita.

Beberapa waktu yang lalu saya mengunjungi salah satu kota yang paling banyak dikunjungi turis di dunia, saya merasa sangat sedih karena begitu banyak orang di dunia ini telah menjadi korban tipu muslihat Setan sehingga tubuh kita dijadikan obyek untuk dipamerkan dan dipertontonkan secara terang-terangan. Bayangkan perbedaannya dan sukacita saya ketika saya memasuki sebuah kelas dengan remaja putri yang berpakaian sopan dan layak yang wajahnya memancarkan kebaikan. Saya berpikir, “Inilah delapan remaja putri cantik yang mengetahui bagaimana memperlihatkan rasa hormat bagi tubuh mereka dan yang mengetahui mengapa mereka melakukan hal itu.” Dalam Untuk Kekuatan Remaja dikatakan: “Tubuh Anda adalah ciptaan Allah yang kudus. Hormatilah tubuh Anda sebagai sebuah karunia dari Allah, dan janganlah mengotorinya dengan cara apa pun. Melalui pakaian serta penampilan Anda, Anda dapat menunjukkan kepada Tuhan bahwa Anda mengetahui betapa berharganya tubuh. Cara Anda berpakaian merupakan cerminan akan jenis orang yang bagaimana Anda sesungguhnya” ([2001], 14–15).

Kesopanan lebih dari sekadar hal menghindari pakaian terbuka. Itu menjelaskan tidak hanya panjang rok [pakaian] dan model potongan leher namun juga sikap hati kita. Kata kesopanan artinya “tindakan.” Itu berhubungan dengan “kelayakan.” Itu mencakup “kesusilaan dan kesantunan … dalam pikiran, tutur kata, pakaian, dan perilaku” (dalam Daniel H. Ludlow, edisi “Encyclopedia of Mormonism,” jilid 5 [1992], 2:932).

Tidak berlebihan dan kepatutan hendaknya mengatur semua nafsu jasmani kita. Bapa Surgawi yang penuh kasih telah memberi kita keindahan dan kesenangan “keduanya untuk menyenangkan mata maupun menggembirakan hati” (A&P 59:18), namun dengan peringatan ini: bahwa itu “dibuat untuk dipergunakan, dengan pertimbangan, tidak dengan berlebih-lebihan dan juga tidak dengan pemerasan” (A&P 59:20). Suami saya menggunakan tulisan suci ini untuk mengajar anak-anak kami tentang hukum kemurnian akhlak. Dia mengatakan bahwa “kata pemerasan sesungguhnya berarti ‘pembelokan [atau menentang].’ Penggunaan kita akan … tubuh seharusnya tidak dibelokkan [terhadap] … tujuan-tujuan yang ditetapkan secara ilahi untuk mana hal itu diberikan. Kesenangan jasmani adalah baik jika digunakan pada waktu dan tempat yang tepat, meskipun demikian kesenangan jasmani hendaknya tidak menjadi prioritas utama kita” (John S. Tanner, “The Body as a Blessing,” Ensign, Juli 1993, 10).

Kesenangan-kesenangan tubuh dapat menjadi obsesi bagi beberapa orang; itu juga dapat menjadi perhatian yang kita berikan pada penampilan jasmani kita. Kadang-kadang kita terlalu berlebihan dalam berolahraga, berdiet, mengubah penampilan, dan mengeluarkan uang untuk model terkini (lihat Alma 1:27).

Saya terganggu dengan praktik perubahan yang ekstrem. Kebahagiaan datang dari menerima tubuh yang telah diberikan kepada kita sebagai karunia ilahi dan menambah sifat-sifat alami kita, bukan dari mengubah tubuh kita menurut gambar dunia. Tuhan menghendaki kita untuk berubah—namun menurut gambar-Nya, bukan gambar dunia, dengan menerima gambar-Nya di dalam wajah kita (lihat Alma 5:14, 19).

Saya ingat betul kegelisahan yang saya rasakan semasa remaja dengan masalah jerawat. Saya berusaha merawat wajah saya dengan benar. Orang tua saya membantu saya memperoleh perawatan medis. Selama bertahun- tahun, saya bahkan tidak makan cokelat dan semua makanan siap saji yang amat disukai para remaja, namun tidak ada hasil penyembuhan yang nyata. Sulit bagi saya saat itu untuk sepenuhnya menghargai tubuh ini yang memberi saya banyak masalah. Namun ibu saya yang baik mengajarkan kepada saya hukum yang lebih tinggi. Berulang kali dia mengatakan kepada saya, “Kamu harus melakukan semampumu untuk membuat penampilanmu menyenangkan, namun di saat kamu keluar pintu, lupakan dirimu dan mulailah memikirkan orang lain.”

Begitulah. Dia mengajari saya asas-asas tidak mementingkan diri seperti Kristus. Kasih, atau kasih murni Kristus, “tidak iri hati dan tidak membanggakan diri, tidak mencari untuk diri sendiri” (Moroni 7:45). Ketika kita memikirkan orang lain atau tidak mementingkan diri, kita mengembangkan kecantikan batin akan roh yang terpancar dari penampilan lahiriah kita. Inilah caranya kita menjadikan diri kita berada dalam gambar Tuhan bukan gambar dunia dan menerima gambar-Nya di wajah kita. Presiden Hinckley membicarakan tentang jenis keindahan yang datang sewaktu kita belajar menghargai tubuh, pikiran, dan roh kita ini. Dia mengatakan:

“Dari semua ciptaan Yang Mahakuasa, tidak ada yang lebih indah, tidak ada yang lebih mengilhami selain putri terkasih Bapa yang hidup dalam kesalehan dengan pemahaman mengapa dia hendaknya melakukan seperti itu, yang menghormati dan menghargai tubuhnya sebagai hal yang kudus dan ilahi, yang memupuk di dalam pikirannya dan terus meningkatkan wawasan pemahamannya, yang memelihara rohnya dengan kebenaran kekal” (“Understanding Our Divine Nature,” Liahona, Februari 2004, 24; “Our Responsibility to Our Young Women,” Ensign, September 1988, 11).

Oh, betapa saya berdoa semoga semua pria dan wanita akan mencari keindahan yang dihormati oleh Nabi—keindahan tubuh, pikiran, dan roh!

Injil yang dipulihkan mengajarkan bahwa ada ikatan alami antara tubuh, pikiran, dan roh. Dalam Kata-Kata Bijaksana, misalnya, hal rohani dan jasmani saling terkait. Ketika kita mengikuti hukum Tuhan akan kesehatan bagi tubuh kita, kepada kita juga dijanjikan kebijaksanaan bagi roh kita dan pengetahuan bagi pikiran kita (lihat A&P 89:19–21). Hal-hal rohani dan jasmani sungguh-sungguh terkait.

Saya ingat sebuah kejadian di rumah saya, tempat saya dibesarkan, ketika roh ibu saya yang peka tergoda dengan pemanjaan fisik. Dia melakukan percobaan dengan satu resep baru kue gulung manis. Kue itu besar dan manis serta lezat—dan mengenyangkan perut. Bahkan kakak dan adik lelaki saya yang masih remaja tidak bisa makan lebih dari satu potong. Malam itu dalam doa keluarga ayah saya meminta Ibu untuk berdoa. Dia menundukkan kepalanya dan tidak menjawab. Dengan lembut Ayah menanyakan kepadanya, “Apakah ada yang salah?” Akhirnya dia mengatakan, “Saya tidak merasakan roh malam ini. Saya baru saja makan kue gulung yang manis itu.” Saya pikir banyak dari kita kadang-kadang dengan cara yang sama telah menyakiti roh kita dengan pemanjaan fisik. Terutama unsur-unsur yang dilarang dalam Kata-Kata Bijaksana yang memiliki dampak berbahaya bagi tubuh kita dan berpengaruh pada kepekaan rohani kita. Tidak satu pun dari kita dapat mengabaikan hubungan roh dan tubuh kita.

Tubuh yang kudus ini, yang kita syukuri, mengalami keterbatasan- keterbatasan alami. Beberapa orang dilahirkan dengan kecacatan, dan beberapa orang mengalami rasa sakit akibat penyakit sepanjang hidup mereka. Kita semua sewaktu kita tua tubuh kita berangsur-angsur mulai rusak. Ketika ini terjadi, kita merindukan saat ketika tubuh kita akan disembuhkan dan sehat. Kita menantikan untuk Kebangkitan yang dimungkinkan oleh Yesus Kristus, ketika “jiwa akan dipulihkan kepada tubuh, dan tubuh kepada jiwa. Ya, dan setiap anggota badan dan persendian akan dipulihkan kepada tubuhnya. Ya, bahkan sehelai rambut di kepala pun tidak akan hilang, tetapi segala sesuatu akan dipulihkan kepada bentuknya yang tepat dan sempurna” (Alma 40:23). Saya tahu bahwa melalui Kristus kita dapat merasakan kegenapan sukacita yang tersedia hanya ketika roh dan unsur bersatu tak terpisahkan (lihat A&P 93:33).

Tubuh kita adalah bait suci kita. Kita tidak kurang melainkan lebih seperti Bapa Surgawi karena kita memiliki tubuh jasmani. Saya bersaksi bahwa kita adalah anak-anak-Nya, diciptakan menurut rupa-Nya, dengan potensi untuk menjadi seperti Dia. Marilah kita memperlakukan karunia tubuh yang ilahi ini dengan amat hati-hati. Kelak, jika kita layak, kita akan menerima tubuh mulia yang disempurnakan—murni dan bersih seperti cucu mungil saya yang baru lahir, yang bersatu tak terpisahkan dengan roh. Dan kita akan bersorak-sorai (lihat Ayub 38:7) menerima kembali karunia ini yang telah lama kita rindukan (lihat Joseph F. Smith—Penglihatan mengenai Penebusan Orang yang Telah Meninggal:50). Semoga kita menghormati kekudusan tubuh selama kefanaan sehingga Tuhan dapat menguduskan serta mempermuliakannya sepanjang kekekalan. Dalam nama Yesus Kristus, amin.
[ Read More ]

Hidup Dalam Penguasaan Diri Dan Ketaatan

I Korintus 11:1 “Jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus.”

Saudara, apabila kita membaca ayat di atas yang merupakan pernyataan daripada Paulus, maka kita mengetahui bahwa pengiringan Paulus kepada Tuhan sungguh-sungguh mantap. Kata “jadilah pengikut” bukan berarti Paulus ingin menguasai orang yang diajarnya atau supaya dirinya dikultuskan, tetapi ia ingin setiap orang yang diajarnya benar-benar meneladani apa yang ia lakukan seperti halnya ia telah meneladani pribadi Kristus. Oleh karena itu, hal utama yang akan kita bahas disini adalah menjadi pengikut Kristus dan bukan pengikut Paulus.

Dan disini kita akan sedikit belajar bagaimana Paulus mengikut Kristus. Paulus tetap rendah hati dalam mengikut Kristus, walaupun ia memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi dibanding dengan orang lain. Selain itu, ia menyadari bahwa dihadapan Tuhan dirinya tidak ada apa-apanya dan juga ia tidak menganggap bahwa dirinya adalah seorang pemimpin, sebab ia meyakini perkataan Tuhan Yesus yang tertuang dalam Injil Matius 23:8-11 : “Tetapi kamu, janganlah kamu disebut Rabi; karena hanya satu Rabimu dan kamu semua adalah saudara. Dan janganlah kamu menyebut siapa pun bapa di bumi ini, karena hanya satu Bapamu, yaitu Dia yang di sorga. Janganlah pula kamu disebut pemimpin, karena hanya satu Pemimpinmu, yaitu Mesias. Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu.

Jelas disini bahwa Tuhanlah pemimpin kita; walaupun Paulus sempat mengatakan “ikutlah aku sama seperti aku mengikut Kristus” itu bukan berarti bahwa Paulus dapat disebut pemimpin, karena firman Tuhan berkata : “jangan seorangpun menyebut dirinya pemimpin atau bapa.” Seandainya Paulus menempatkan dirinya sebagai pemimpin maka pada generasi berikutnya akan mengalami polusi secara rohani. Jadi pemimpin yang satu-satunya adalah Kristus.

Lalu bagaimanakah cara pemimpin kita (Tuhan Yesus) dalam memimpin dunia ini ? Ada beberapa hal yang dimiliki dan menjadi bagian dalam hidupNya, untuk memimpin dunia ini.

Yang pertama adalah Penguasaan Diri.

Ketika Ia memulai pelayananNya di bumi ini, Ia telah belajar mengenai penguasaan diri. Salah satu contoh, yaitu : tatkala Ia dicobai oleh iblis di padang gurun sebanyak tiga kali, Ia telah sanggup mengalahkan cobaan itu. KesanggupanNya dalam mengalahkan cobaan itu dikarenakan ia telah belajar akan penguasaan diri, yaitu melalui puasa selama 40 hari (Matius 4:1-11). Memang Yesus itu lahir dari Roh dan firman, tetapi ia terdiri dari daging juga. Tuhan Yesus mengerti bahwa dengan penguasaan diri, maka cobaan iblis yang memancing hawa nafsunya untuk melakukan dosa dapat dikalahkan. Dan perlu kita tahu bahwa Roh Allah dapat bekerja dengan leluasa apabila penguasaan diri ada dalam diri kita dan keinginan daging telah ditaklukkan. Memang, secara tidak sadar kadang-kadang muncul pertanyaan : “Mengapa Roh Allah tidak dapat bekerja secara luar biasa, apakah metode-metode atau program yang kita lakukan kurang bagus ?. Roh Allah tidak bekerja secara luar biasa bukan karena metode atau program yang kurang bagus, tetapi semuanya itu disebabkan oleh karena kita masih hidup dalam kedagingan dan hawa nafsu. Oleh karena itu, saat kita sedang berpuasa untuk melatih penguasaan diri kita, maka Roh Allah itu akan muncul dan bekerja secara luar biasa. Namun berapa banyak orang justru memadamkan atau mendukakan Roh dengan kedagingannya. Jadi kalau kita mengikut Kristus, dan Roh Allah berkuasa dengan sepenuhnya atas kita, maka kita akan sanggup melakukan perkara yang besar. Sebab semakin kita hidup dalam penguasaan diri maka Roh Allah semakin muncul dalam kehidupan kita dan kuasa Tuhan akan bekerja tanpa batas. Apabila kita menggunakan pedoman penguasaan diri maka segala karunia buah-buah Roh Kudus akan muncul dengan subur. Dan apa artinya kita berpendidikan tinggi tanpa adanya penguasaan diri dalam hidup kita. Dan ini bukan berarti kita tidak boleh berpendidikan tinggi, tetapi yang dimaksud disini adalah : penguasaan diri merupakan prioritas utama.

Hal yang kedua adalah Taat Terhadap Kehendak Tuhan (Obey The Lord)

Selain penguasaan diri, ada hal yang tidak kalah pentingnya yaitu ketaatan. Kita semua tahu bahwa manusia pertama kali jatuh dalam dosa disebabkan karena ketidaktaatannya terhadap kehendak Tuhan. Tetapi disini kita akan belajar dari pemimpin agung kita yaitu Tuhan Yesus mengenai ketaatan. Sejauh mana ketaatan daripada Tuhan Yesus terhadap Bapa ? ketaatan Tuhan Yesus terhadap Bapa adalah sampai kematiannya di atas kayu salib, seperti yang tertulis dalam Filipi 2:5-11 “. . . . . Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: "Yesus Kristus adalah Tuhan," bagi kemuliaan Allah, Bapa!

Memang secara manusia, Tuhan Yesus tidak sanggup menghadapi pergumulan yang sedang Ia jalani yaitu harus mengalami penderitaan yang berat, bahkan sampai mati di atas kayu salib. Karena terlalu beratnya penderitaan yang Ia tanggung, sampai Tuhan Yesus berdoa sebanyak tiga kali dengan kata-kata yang sama seperti yang tertulis dalam Matius 26:39 “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.”

Tetapi oleh karena ketaatanNya, Ia menyerahkan sepenuhya ke dalam tangan Bapa, walaupun berat rasanya untuk dapat menanggung semua penderitaan itu. Dan pada akhirnya Ia ditinggikan dan diberi kuasa baik di bumi maupun di surga.

Selain kita belajar dari ketaatan Tuhan Yesus, kita akan melihat contoh tokoh lain yang juga taat terhadap kehendak Tuhan, yaitu Abraham. Ketika Abraham menantikan untuk mendapatkan seorang anak Ia menunggu sampai usia yang sangat lanjut. Dan ketika janji untuk mendapatkan seorang anak sudah tergenapi, lalu Tuhan berkata supaya anak itu dipersembahkan kepada Tuhan. Walaupun secara manusia ia merasa kecewa, tetapi karena ketaatannya justru membuahkan hasil yang luar biasa. Dimana Tuhan menjadikan Abraham sebagai bapa segala bangsa dan keturunannya menjadi bangsa yang besar sesuai dengan janji Tuhan.

Melalui penjelasan diatas, marilah kita senantiasa belajar hidup dalam penguasaan diri dan taat terhadap kehendak Tuhan, supaya kita tetap berkenan di hadapan Tuhan dan pelayanan kita tidak sia-sia. Amin.
[ Read More ]

DUA BELAS CARA MENGATASI KESEDIHAN

Kita semua pernah merasakan kehilangan. Namun, ketika kita kehilangan sesuatu yang sangat berarti dalam hidup kita — saat kita kehilangan ikatan dengan seseorang atau binatang kesayangan,pekerjaan yang sangat berarti, tujuan yang sangat penting, atau bahkan mungkin kehilangan pondasi iman, kita mengalami perasaan putus asa, tidak percaya, dan kesepian. Jika Anda kehilangan seseorang yang istimewa, rasa sakitnya bisa jadi besar sekali, seolah-olah Anda terjerumus ke dalam jurang yang dalam dan ditinggalkan. Anda mungkin merasakan kesedihan yang mendalam, bagaimana Anda bisa bertahan, bagaimana Anda dapat kembali memercayakan kasih Anda kepada orang lain.

Hidup seakan menjadi tidak nyata setelah kehilangan sesuatu yang sangat berarti. Belajar bagaimana cara menghadapinya, terlibat di dalamnya, dan masuk kembali ke dunia nyata ketika kita merasa sangat kesepian dan sedih adalah sebuah perjuangan yang terjadi dengan tingkat yang berbeda-beda untuk tiap orang. Meskipun tampaknya mustahil, ada beberapa hal spesifik yang dapat Anda kerjakan sekarang untuk membantu Anda melewati masa-masa sulit setelah kehilangan sesuatu yang amat berarti itu. Berikut ini dua belas ide yang bisa Anda gunakan.

1. Sediakanlah ruang dan waktu; jiwa Anda butuh waktu untuk pemulihan.

Berilah ruang bagi diri Anda sendiri. Kurangi harapan-harapan Anda dan santailah. Artinya, jangan menyiksa diri Anda jika proyek-proyek atau tujuan-tujuan tak terlaksana seperti yang
diharapkan.

2. Ceritakanlah

Carilah teman dekat untuk mencurahkan perasaan Anda. Sangat penting untuk melepaskan kesedihan Anda dengan orang lain. Manusia diciptakan untuk menjadi makhluk sosial. Namun, imbangilah hal ini dengan menyisihkan waktu dan ruang untuk sendirian.

3. Katakan, "Selamat tinggal."

Buatlah sebuah surat perpisahan kepada seseorang yang telah meninggalkan Anda. Itu adalah salah satu jenis penghilangan emosi yang dapat membantu proses penyembuhan. Namun, jangan paksakan
diri Anda. Lakukanlah hal ini bila Anda merasa bahwa apa yang Anda lakukan itu baik.

4. Kenanglah

Kumpulkan semua benda kenangan Anda bersama orang yang Anda cintai yang berupa foto, hadiah-hadiah, surat-surat, dan kartu-kartu. Tunjukkan koleksi tersebut kepada orang lain untuk
membantu Anda mencurahkan perasaan Anda.

5. Menangislah

Menangislah jika Anda sudah siap. Anda mungkin dalam keadaan terguncang dan penyangkalan, bahkan tidak merasakan kesedihan selama beberapa waktu, jam-jam pertama, atau kadang-kadang bahkan
beberapa hari setelah kehilangan. Namun, ketika saatnya emosi mulai muncul, biarkan air mata Anda mengalir.

6. Pergilah keluar!

Habiskan waktu untuk minum teh atau kopi di kafe, berkeliling di toko buku, atau jalan-jalan di pertokoan atau di taman.

7. Carilah dukungan.

Bicaralah dengan orang-orang yang dalam hidupnya sudah pernah mengalami kehilangan.

8. Ampunilah

Anda mungkin berpikir atau mengatakan "Saya seharusnya .... Saya seharusnya tidak .... Saya dapat .... Jika saja saya dapat ...."
Pikiran-pikiran tentang apa yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan hanya akan membuat Anda gila. Tak ada manusia yang sempurna, jadi ampunilah diri Anda sendiri dan orang lain.

9. Mencari pelarian.

Pelarian bisa jadi hal yang sehat dalam dosis yang tepat dan bisa disalurkan dalam berbagai bentuk. Misalnya, seseorang yang dalam keadaan tertekan dapat menghabiskan banyak waktu untuk tidur. Hal ini sebenarnya merupakan bentuk mekanisme pertahanan tubuh. Jadi, carilah pelarian! Pergilah menonton ke bioskop, lakukanlah hobi baru, banyaklah tidur siang, atau lakukanlah suatu perjalanan.

10. Berdoalah

Baca dan renungkanlah Kitab Suci. Bacalah Mazmur 23, 139, 27; Yohanes 14:1—6, 11:25—26, Roma 8:31—39, 1Korintus 15:1—58, dan Wahyu 21:1—6. Biarkan Allah yang memulihkan Anda.

11. Singkirkanlah yang negatif.

Hentikan pikiran-pikiran negatif — ingat, pikiran-pikiran itu mengubah unsur-unsur kimia dalam otak Anda menjadi hal-hal yang lebih buruk. Berhatilah-hatilah berada di antara orang-orang
yang negatif. Jika memungkinkan, menjauhlah dari keadaan yang membuat Anda sedih (lihat "Larilah").

12. Berolahragalah

Jangan mengabaikan tubuh Anda. Sekali-sekali, pergilah ke pusat kebugaran, di mana Anda akan dikelilingi oleh banyak orang. Olah raga memperbaiki penghargaan diri dan menghasilkan hormon-hormon positif dalam tubuh Anda. Kenikmatan yang timbul saat endorfin dilepaskan selama berolahraga dapat memberikan hasil yang mengagumkan.
[ Read More ]

Hubungan dengan sesama

Manusia yang diciptakan sebagai makhluk sosial membuat setiap orang saling membutuhkan. Bahkan, bukan saja saling membutuhkan, tetapi manusia juga perlu untuk sayang-menyayangi. Ada kebutuhan batin dalam diri setiap orang untuk mengasihi dan dikasihi. Kalau kita hanya membatasi diri pada sekadar membutuhkan orang lain, tanpa rasa saling menyayangi, maka terjadilah apa yang disebut "exploitation de l'homme par l'homme" (penindasan manusia atas manusia).

Meskipun semua manusia ditakdirkan untuk membutuhkan orang lain, tetapi hubungan dengan sesama tidak serta-merta terjadi dalam lingkungan yang luas dengan melibatkan banyak orang sekaligus. Ada tahapan-tahapan di mana seseorang belajar mengenali orang lain dalam lingkungan terbatas, baru kemudian berkembang menjadi semakin meluas sejalan dengan perkembangan fisik dan mental. Seorang bayi yang baru lahir di awal pertumbuhannya hanya membutuhkan ibunya, lalu ayah dan keluarga langsung. Dengan bertambahnya umur, dari balita (di bawah lima tahun) sampai usia remaja, ada kebutuhan untuk bersosialisasi dengan orang-orang di luar keluarganya sendiri, seperti teman-teman sebaya ditambah orang-orang yang lebih dewasa. Baru setelah mencapai usia "kematangan sosial" maka dia akan membutuhkan siapa saja dalam kehidupannya.

Dari segi keintiman, sebagaimana kita tahu dan alami sendiri, seorang dewasa membutuhkan satu teman dekat (normalnya, yang berlainan jenis) yang sering disebut sebagai belahan-jiwa (soul mate) dengan siapa dia bebas mengekspresikan diri. Lalu ada beberapa orang lain (biasanya sesama jenis) sebagai sahabat-sahabat karib yang sangat dipercayainya (alter ego) yang dalam banyak kasus seseorang bahkan siap berkorban demi sobat kentalnya itu. Hubungan sosial ini kemudian meluas kepada keluarga dekat dan sanak famili serta lingkungan pergaulan yang lebih luas seperti teman-teman sebaya (peer), teman-teman sekerja, kawan-kawan dalam satu aktivitas, kerukunan tetangga, kerukunan etnis, dan sebagainya. Bagi seorang yang taat beragama maka dia tentu juga memiliki lingkup sosial dengan orang-orang dalam satu komunitas keagamaan secara lokal (jemaat, bagi orang Kristen). Inilah antara lain lingkungan pergaulan di mana seseorang merasa menjadi bagian dan di mana dirinya merasa diterima. Rasa berterima (acceptance) inilah yang membuat seseorang betah dan senang berada bersama orang-orang lain itu.

Salah satu prasyarat mendasar yang harus dimiliki seseorang dalam interaksi antar-pribadi adalah akuntabilitas diri (hal dapat dipercaya). Kita merasa aman dan nyaman bila berada dekat dan bercengkerama dengan orang-orang lain yang bisa dipercaya, dan untuk itu kita juga harus terlebih dulu menampilkan dan membuktikan diri sebagai orang yang dapat dipercaya. Mengapa tidak cukup hanya "menampilkan" tetapi juga harus "membuktikan" bahwa dirinya layak dipercaya? Sebab kalau hanya sebatas tampilan luar saja itu hanyalah kesan semu atau artifisial, yang segera akan terkuak kemudian pada situasi "kritis" di mana jatidiri seseorang akan terungkap. Jika seseorang memang memiliki sifat kejujuran yang tulus sehingga dia bisa dipercaya sebagaimana kesan yang ditampilkannya, maka itu akan terbukti pada keadaan yang genting. Gagal membuktikan diri sebagai orang yang bisa dipercaya maka anda akan kehilangan tempat di lingkungan pergaulan anda dan segera dikucilkan. Kalau ini terjadi, teramat sulitlah bagi seseorang untuk mendapatkan kembali kepercayaan. Seperti kata pepatah, "Sekali lancung ke ujian, seumur hidup tak dipercaya."

Lingkungan pergaulan terkadang juga bersifat eksklusif, yaitu hanya terdiri dari orang-orang dengan minat yang sama serta tujuan dan kepentingan yang sama. Misalnya sebuah klub, atau juga perserikatan. Bagi mereka yang merasa memiliki "perjuangan" yang sama maka akan didirikanlah partai politik atau perhimpunan dengan platform yang sama. Bahkan orang-orang yang bertujuan untuk hal-hal negatif pun bisa berhimpun dalam suatu kelompok, contohnya seperti "geng motor" yang sedang marak di tanah air yang niatnya lebih banyak bersifat destruktif. Meskipun begitu, tidak ada "perkumpulan orang-orang culas" yang kita dengar pernah didirikan orang, kecuali sekadar olok-olok saja. Sekalipun di dunia mafia atau kelompok kriminal yang notabene adalah orang-orang yang anti-sosial, orang culas menjadi musuh bersama mereka. Artinya, kejujuran diperlukan dalam lingkup pergaulan sosial apa saja.

Dalam konteks keberagamaan, hubungan tidak hanya yang bersifat horisontal di antara sesama manusia. Keberagamaan juga melibatkan hubungan vertikal, yaitu antara diri pribadi dengan Tuhan. Orang bisa saling "membohongi" dan memanfaatkan orang lain untuk maksud dan kepentingan tertentu--dalam lingkungan keagamaan sekalipun. Itulah sebabnya orang-orang yang datang berbakti pada waktu yang sama, berkumpul di tempat yang sama, mendengar khotbah yang sama, membaca dan belajar Firman Allah yang sama, bahkan bernaung dalam satu organisasi keagamaan yang sama, namun bisa berlaku culas antara satu sama lain. Agama sejatinya adalah upaya mendekatkan diri dengan Tuhan secara vertikal, kedekatan antar pribadi secara horisontal adalah bukti bahwa kita telah memiliki hubungan yang benar dengan Allah yang benar!
[ Read More ]

Keberanian" untuk membuka dan menyatakan jatidiri kita

Dengan dasar pemikiran seperti diutarakan dalam prawacana di atas saya cenderung berpikir bahwa untuk menjalin suatu hubungan antara pribadi yang sehat dan konstruktif diperlukan "keberanian" untuk membuka dan menyatakan jatidiri kita. Perlu juga kita menyadari bahwa hubungan antar-pribadi dalam suatu ajang yang bernama "pergaulan" itu tidak bisa dijalani begitu saja tanpa persiapan mental. Artinya, pergaulan itu tidak bisa dianggap sebagai aktivitas alami seperti halnya makan, tidur, berjalan, bicara, dan sebagainya. Perlu persiapan untuk mengantisipasi hal-hal yang muncul dari interaksi kita dengan orang-orang lain, bagaimana supaya saya bisa diterima dengan baik oleh orang lain. Kita juga harus belajar lebih dulu nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku di lingkungan di mana saya hendak menerjunkan diri dan berkecimpung bersama orang-orang lain serta langkah-langkah awal apa yang baik.

Ambillah contoh hubungan antar-pribadi yang paling terbatas dan eksklusif, yakni apabila anda hendak memilih seorang teman hidup. Ada beberapa langkah yang harus ditempuh untuk menjalin hubungan yang bermutu, dimulai dengan berkenalan, bergaul, saling membuka diri, saling percaya, lalu saling mencintai. Tidak ada yang namanya "cinta pada pandangan pertama" (love at the first sight). Penampilan fisik (physical appearance) itu hanyalah pesona awal yang mendekatkan kedua insan. Tentu saja "prosedur" ini tidak berlaku di zaman Alkitab, atau pada "Zaman Siti Nurbaya" yang baru seabad lalu, di mana menikah itu lebih menjadi hak orangtua ketimbang hak dari anak-anak yang hendak menikah. Istilahnya, our marriage, their wedding, anak-anak yang mau kawin tapi orangtua yang punya pesta.

Di zaman teknologi digital dan internet ini, utamanya di kebudayaan dunia barat, pasangan yang hendak menikah itu memiliki hak mutlak untuk memilih pasangannya, menentukan kapan mereka hendak menikah, siapa yang akan mendampingi, nuansa warna, dan sebagainya. Dan sekalipun dengan perkembangan teknologi informasi sepasang sejoli dapat saja berkenalan dan bergaul melalui internet, tidak bergaul langsung secara fisik, namun tahapan-tahapan pranikah itu tetap saja diperlukan. Bahkan pasangan-pasangan instan yang menikah di Las Vegas, yang baru jumpa semalam, tetap saja ada tahapan saling mengenal. Tidak ada pasangan yang menikah tanpa saling tahu nama masing-masing.

Bergaul dengan orang lain--apapun maksud dan tujuannya--mesti memperhitungkan berbagai masalah dan kesulitan yang bakal muncul. Sebab setiap orang adalah unik, berasal dari lingkungan keluarga yang berbeda, dibesarkan di lingkungan yang berbeda, menempuh pendidikan yang berbeda, memiliki pengalaman yang berbeda, menganut paham dan wawasan yang berbeda, menjunjung norma-norma yang berbeda, bahkan mewarisi gen-gen pembawa sifat yang berbeda-beda. Semua ini merupakan faktor-faktor potensial untuk menimbulkan kesalahpahaman dan dengan sendirinya mengganggu untuk suatu hubungan yang harmonis. Pendeknya, hubungan antar pribadi selalu sarat dengan masalah.

"Apakah masalah dengan pasangan, anak-anak, atasan, rekan sekerja, tetangga, teman, atau musuh, orang-orang cenderung menjadi penyebab stres yang utama. Sebaliknya, apabila hubungan-hubungan itu positif maka semua itu merupakan sumber kepuasan yang mantap".

Nah, beranikah anda untuk bergaul dengan orang-orang lain yang dalam banyak hal berbeda dengan anda?
[ Read More ]

BERANI UNTUK RENDAH HATI

Kita sering mendengar bahwa hidup di dunia ini penuh pergulatan serta persaingan, dan bahwa hanya orang-orang yang ulet saja dapat meraih sukses. Pandangan seperti ini sudah ditanamkan sejak kecil dan ditempa terus-menerus, baik di rumah maupun di sekolah, sehingga kita cenderung tumbuh dengan sikap yang siap untuk bertarung demi meraih kehidupan. Mirip dengan dunia satwa di alam bebas yang harus berkelahi baru bisa hidup dan eksis.

Lingkungan gerejawi selayaknya adalah sebuah entitas yang terdiri atas orang-orang yang kontras dengan keadaan di luar gereja yang penuh suasana "pertarungan" untuk eksis. Sebab gereja adalah tempat berhimpunnya orang-orang yang sedang menghidupkan keteladanan Yesus yang penuh penyangkalan diri. Tapi kenyataannya lebih sering mengecewakan ekspektasi itu. Sehingga seorang sejarahwan pernah berucap, "Saya masuk ke dunia, saya melihat gereja di dalamnya; saya masuk ke gereja, saya melihat dunia di dalamnya." Bukan karena keadaan di gereja tidak ada bedanya dengan keadaan di luar gereja, tetapi karena di dalam gereja belum semua adalah gandum melainkan masih ada lalang-lalang. [Mat. 13:24-30].

Namun orang-orang yang aktif di dalam gereja kebanyakan adalah juga orang-orang yang giat di luar gereja, bahkan keseharian mereka lebih banyak bersentuhan dengan suasana di luar gereja. Lalu kita bertanya: Mungkinkah seorang Kristen sejati yang berkarir di luar lingkungan gereja bisa sukses sambil terus taat mempertahankan tiga sifat dalam Efesus 4:2, yaitu rendah hati, lemah lembut, dan sabar?

Pertama-tama kita perlu mendefinisikan dulu apa artinya rendah hati, lemah lembut dan sabar itu. Ketiga sifat ini pada dasarnya adalah identik. Supaya tidak terlalu tendensius kita ambil saja pendapat sekuler mengenai sifat ini. Kerendahan hati, menurut Immanuel Kant (psikolog dan filsuf klasik terkenal asal Jerman), adalah sebuah kebajikan atau sifat baik (virtue); yang menurut penelitian Jim Collins dkk sebagai suatu sifat yang dapat meningkatkan efektivitas kepemimpinan. Lemah lembut itu bersifat mudah diatur, ramah, halus pembawaaanya, serta mampu meredakan amarah orang lain. Sabar ialah memiliki kesanggupan untuk bertahan di bawah keadaan yang sulit dan tidak mudah terprovokasi, dapat menahan emosi. Walaupun menurut filsuf Friedrich Nietzsche ini adalah sesuatu yang berat, berlawanan dengan nafsu yang tidak bisa menunggu, namun kesabaran menunjukkan kematangan pribadi yang amat diperlukan di saat-saat genting. Pendeknya, ketiga sifat ini lebih menguntungkan bukan saja dalam pergaulan tetapi juga dalam kehidupan secara keseluruhan.

Contoh dari Alkitab tentang seorang yang memiliki ketiga sifat kebajikan ini adalah Abigail. Di saat keluarganya menghadapi kegeraman Daud dengan 400 pasukannya yang hendak menuntut balas atas harga dirinya yang dilecehkan dan akan menumpas semua laki-laki di rumah Nabal sebelum fajar berikutnya (1Sam. 25:22), Abigail tampil sebagai pahlawan yang bukan saja menyelamatkan orang-orang yang tidak bersalah di rumahnya tetapi juga menyelamatkan Daud sendiri dari berbuat dosa. Tersadar oleh kecerobohan yang nyaris dilakukannya, Daud pun memuji tindakan Abigail: "Terpujilah kebijakanmu dan terpujilah engkau sendiri, bahwa engkau pada hari ini menahan aku dari melakukan hutang darah dan dari bertindak sendiri dalam mencari keadilan" (ay. 33). Belakangan, Daud yang terkesan dengan kebajikan Abigail kemudian memperistri wanita cantik ini setelah Nabal, suaminya, mati terkena serangan jantung.

Tentu tidak semua kemarahan dapat diredakan dengan cara seperti itu. Ada faktor-faktor lainnya yang ikut berpengaruh, termasuk kualitas pribadi pihak yang sedang marah dan apa alasan kemarahannya. Selain itu ada pula faktor hubungan kasuistis kedua pihak yang bersengketa. "Hasilnya sangat beragam tergantung pada bagaimana orang-orang itu mempresentasikan diri mereka--sebagai atasan, sebagai sejawat, atau sebagai teman-teman maupun rekan-rekan bawahan".

Tetapi yang pasti dalam peristiwa yang melibatkan ketiga ini, yaitu antara Nabal yang sombong dan melecehkan orang lain dan Daud yang emosional dengan rasa harga diri yang tinggi, Abigail telah tampil sebagai penyelamat. Kedudukan wanita bijaksana ini di hadapan kedua lelaki tersebut lebih rendah (inferior), apalagi pada zaman dan dalam kebudayaan setempat yang sangat patrialistik, namun demikian dia tidak merasa terkendala untuk berbuat sesuatu yang positif. "Hasil dari tindakan Abigail yang bijaksana dan rendah hati itu telah sama sekali membalikkan niat Daud. Dia bersyukur kepada Tuhan yang sudah mengutus wanita ini dan memujinya atas pertimbangannya yang baik".

Berdasarkan dua hal yang telah dipaparkan ini, yaitu pendapat para pakar dunia dan contoh kasus dari Alkitab, maka untuk menjawab pertanyaan "Mungkinkah seorang Kristen sejati yang berkarir di luar lingkungan gereja bisa sukses sambil terus taat mempertahankan tiga sifat dalam Efesus 4:2, yaitu rendah hati, lemah lembut, dan sabar?" kita bisa berkata bahwa hal itu sangat mungkin! Situasi dan kondisi yang dihadapi dalam dunia kerja pasti berbeda dengan situasi dan kondisi persekutuan dan perbaktian di dalam gereja, namun ketiga sifat ini tetap memberi manfaat. Kerendahan hati, lemah lembut, dan sabar adalah tiga ciri kecerdasan emosi (emotional quotient) merupakan tuntutan yang bersifat universal. Tidak ada lingkungan sosial maupun lingkungan pekerjaan yang tidak menyukai ketiga sifat baik ini, betapapun dahsyatnya persaingan di dunia.

Orang yang berani menunjukkan kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran adalah orang yang berpotensi meraih keberhasilan, di luar gereja maupun di dalam gereja.
[ Read More ]

BERANI UNTUK BERSIKAP BAIK

Dalam khasanah peribahasa kita ada yang berbunyi, "Pembalasan lebih kejam dari perbuatan." Lazimnya, peribahasa adalah cerminan dari kehidupan suatu masyarakat. Artinya, kata-kata itu bukan ungkapan kosong melainkan merupakan kenyataan hidup dan cenderung menjadi "falsafah" yang diajarkan secara turun-temurun. Dari peribahasa yang satu ini terbersit juga sebuah nasihat dan sekaligus peringatan, bahwa setiap perbuatan buruk selalu mengandung risiko dibalas, bahkan dengan cara yang lebih buruk lagi.

Hampir semua budaya memiliki falsafah yang kurang-lebih sama dengan itu. Di masyarakat Israel purba bahkan hal itu menjadi pakem yang wajib dijalankan. "Mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki, lecur ganti lecur, luka ganti luka, bengkak ganti bengkak" (Kel. 21:24, 25). Konsep hukum yang disebut lex talionis (hukum pembalasan denam) ini terus dipelihara bahkan hingga sekarang ini. Itulah sebabnya setiap serangan musuh ke wilayah Israel pasti akan selalu dibalas, terkadang dengan intensitas yang lebih dahsyat. Kita melihat itu diperagakan di Jalur Gaza.

Tatkala Yesus hidup di tengah masyarakat Yahudi lebih 2000 tahun silam tentu saja cara berpikir mereka seperti itu, bahwa setiap perbuatan yang menimbulkan kerugian atau cedera layak dibalas. Karena itu para pemuka masyarakat sangat marah dan tersinggung manakala Yesus mengajarkan paham yang berbeda. Mereka tidak bisa menerima bahwa aturan adat-istiadat yang sudah berabad-abad dijalankan itu "direduksi" (diturunkan maknanya) ketika Yesus mengajarkan bahwa kalau orang menampar pipi kananmu, berikan juga pipi kirimu. Ini bukan saja melanggar hukum adat yang sudah baku selama ratusan tahun, tetapi juga melambangkan kelemahan dan ketidakberdayaan. Namun, sementara bagi mereka ajaran "ditampar pipi kanan, berikan juga pipi kiri" itu merendahkan martabat, Yesus justeru bermaksud untuk mengangkat pola berpikir mereka kepada sesuatu yang lebih luhur.

"Yesus meningkatkan (upgraded) pendekatan 'mata ganti mata' menjadi ditampar satu pipi berikan lagi pipi yang lain [Mat. 5:39]. Ini adalah sebuah konsep revolusioner pada masa itu dan juga sekarang ini bagi banyak budaya dan tradisi". Mengapa konsep hukum yang baru dari Yesus itu disebut meninggikan gantinya merendahkan? Karena Dia sedang memperkenalkan hukum kasih agape, doktrin kasih tertinggi yang sebelumnya tidak pernah dimengerti oleh mereka. Mengapa hukum "mata ganti mata" itu ada dalam tatanan kehidupan mereka itu harus dipandang sebagai sebuah amaran agar orang tidak berbuat jahat kepada sesamanya. Prinsip dari hukum adalah untuk menjaga ketenteraman, sebagai pagar yang membatasi perilaku setiap orang demi kebaikan bersama. Hukum tidak dibuat untuk dilanggar, melainkan untuk dituruti, supaya sangsi yang melekat pada hukum itu tidak perlu diberlakukan jika semua orang telah menghormati hukum itu.

Dengan memperkenalkan konsep pendekatan baru dalam hubungan antar-manusia seperti itu, Yesus sedang memberikan "pengaruh lawan" terhadap cara berpikir manusia pada zaman itu hingga sekarang. Bukan itu saja, Ia juga sedang mengajarkan bahwa bagi orang yang bersalah hukuman batin justeru jauh lebih berat daripada sekadar hukum badan.

Hukum membalas kejahatan dengan kebaikan ini juga sebenarnya bukan barang baru bagi mereka, sebab itu sudah ada dalam kumpulan takzim leluhur mereka, raja Salomo. "Kalau musuhmu lapar, berilah ia makan; dan kalau ia haus, berilah ia minum. Dengan demikian engkau membuat dia menjadi malu, dan Tuhan akan memberkatimu" (Ams. 25:21-22, BIS, huruf miring ditambahkan). Musuh yang lapar dan haus artinya dia sedang melarat, dan dengan memberikan kepadanya kebutuhan dasar yang paling pokok (makanan) maka penderitaan batinnya akan jauh lebih berat untuk ditanggung. Tidak ada di antara kita yang meskipun hidup susah mau meminta makan dari orang yang kita musuhi, bukan? Kenapa? Sebabnya adalah masalah harga diri; padahal kita mau bertengkar dengan orang lain justeru karena masalah harga diri. Orang lebih baik mencuri untuk mengisi perut daripada dia mengemis kepada lawannya. Rasa malu sering lebih berat ditanggung ketimbang rasa lapar.

Dengan memberikan sepiring pastei apel kepada tetangga yang suka comel itu, keluarga ini telah mengubah suasana hubungan bertetangga mereka. Kalau tetangga yang suka rewel itu menerima pastei apel tersebut bukan karena mereka sedang lapar, tetapi itu diterima sebagai tanda persahabatan. "Tindakan sederhana itu telah menciptakan perbedaan dalam hubungan mereka, barangkali karena mereka tidak pernah mengharapkan sesuatu seperti itu dari orang-orang yang telah mereka perlakukan kasar terus-menerus". Atau, kemungkinan tetangga yang tadinya reseh itu ingin bersahabat dengan keluarga ini tetapi dengan cara pendekatan yang tidak bersahabat? Pada waktu kita masih kanak-kanak, bukankah kita juga suka melakukan "pendekatan" seperti itu terhadap anak baru di lingkungan kita, sengaja mengusiknya supaya berkenalan? Di masa remaja dulu ada teman-teman yang kemudian menjadi sahabat dekat setelah sebelumnya duel dulu sebagai perkenalan. Tetapi lebih baik begitu daripada berkenalan secara baik-baik lalu setelah menjadi teman baru duel!

Daud pernah mengalami kepahitan seperti itu. Semula hubungannya dengan raja Saul baik-baik saja, bahkan Daud telah menjadi pahlawan yang memenangkan "sayembara" dengan membunuh ratusan orang Filistin sehingga kepadanya Saul menghadiahkan salah seorang putrinya untuk diperistri Daud. Tetapi tatkala menantunya itu menjadi pesaing potensial untuk takhtanya, raja Saul berubah menjadi monster. Namun Daud, yang sebenarnya adalah seorang pemberang dan keras (lihat pelajaran hari Minggu), memilih untuk bersikap manis. "Daud memilih suatu sikap merendah dan saleh dalam menghadapi seseorang yang tidak baik kepadanya".

Untuk membalas kejelekan dengan kebaikan, kekasaran dengan keramahan, bahkan mengorbankan pipi kiri lagi setelah pipi kanan ditampar, memerlukan suatu keberanian moral yang hanya orang-orang dengan kematangan pribadi dan kedewasaan iman dapat melakukannya. Membalas kejahatan dengan kebaikan, di tengah masyarakat yang memegang paham balas dendam sebagai konsep yang baku, adalah suatu tindakan melawan arus yang berani. Perlu keberanian yang tidak kecil untuk berlaku "anomali" dengan risiko dihujat orang. Tetapi itulah yang diajarkan dan diteladankan Yesus kepada para pengikut-Nya, berani bersikap baik apapun situasinya.

Menjadi pengikut Kristus adalah menjadi seorang yang berani untuk bersikap baik, tidak peduli seberapa jahatnya orang itu telah perbuat kepada saya!
[ Read More ]

BERANI UNTUK MENGAMPUNI

Adalah Dr. Robert Enright dari Universitas Wisconsin di Madison yang mendirikan Institut Pengampunan Internasional (International Forgiveness Institute) dengan tujuan untuk penelitian hal-hal yang berkaitan dengan masalah mengampuni. Dia mengembangkan apa yang disebutnya "Proses Percontohan Pengampunan 20 Langkah" yang antara lain meneliti jenis orang seperti apakah yang cenderung mudah untuk mengampuni. Studi ini menemukan bahwa mereka yang suka mengampuni adalah orang-orang yang lebih berbahagia dan lebih sehat ketimbang mereka yang menyimpan dendam. Didapati bahwa pada waktu seseorang berpikir untuk mengampuni orang lain yang bersalah kepadanya maka hal itu meningkatkan fungsi sistem kardio-vaskuler dan sistem saraf mereka. Semakin seseorang itu mengampuni sesamanya, semakin sedikit dia menderita berbagai penyakit. Sebaliknya, orang-orang yang sedikit mengampuni dilaporkan lebih banyak mengalami gangguan kesehatan.

Peneliti lain, Dr. Fred Luskin dari Universitas Stanford, menemukan dalam penelitiannya bahwa kemampuan mengampuni itu bisa dipelajari. Dan orang-orang yang diajarkan untuk mengampuni menjadi berkurang marahnya, sedikit merasa sakit hati, lebih optimistik, menjadi lebih mudah mengampuni dalam berbagai keadaan, serta menjadi lebih memiliki rasa kasih sayang dan lebih percaya diri. Studinya menunjukkan berkurangnya pengalaman stres dan akibatnya terhadap fisik, serta meningkatnya vitalitas.

Penelitian lain juga membuktikan bahwa baik sikap mengampuni yang diperoleh dari pendidikan agama maupun melalui penyuluhan umum yang bersifat ilmiah sama-sama menghasilkan efek yang serupa. Bahkan, ajaran kebatinan tradisional di Hawai mempraktikkan apa yang disebut ho-oponopono, yaitu latihan pendamaian dan pengampunan yang disertai doa. Ajaran serupa juga dikenal di berbagai suku-bangsa yang hidup di kepulauan-kepulauan kawasan Pasifik Selatan, di mana penyembuhan penyakit badani diperoleh melalui latihan mengampuni orang lain.

Di zaman modern ini tampaknya mengampuni orang lain adalah semacam barang mewah sehingga sedikit orang saja yang sanggup memilikinya. Jauh lebih murah barang-barang perlengkapan hidup yang semahal apapun. Buktinya, kesalahan yang belum diampuni dapat memicu huru-hara besar di mana orang tidak lagi menganggap harta benda itu bernilai. Gedung dihancurkan, mobil dibakar, bahkan nyawa sekalipun kehilangan harga. Permintaan maaf dari pihak yang dianggap bersalah seringkali juga tidak cukup bernilai untuk "membeli" sebuah pengampunan, terutama jika pokok pertikaian menyangkut masalah SARA (suku, agama dan ras). Itu bisa terjadi di negara-negara berkembang di mana rakyatnya "kenyang dengan kelaparan" dan itu juga dapat terjadi di negara-negara industri maju yang rakyatnya relatif hidup makmur.
Lebih merisaukan lagi kalau miskinnya pengampunan itu dialami di lingkungan orang-orang yang mengaku sebagai umat Tuhan. "Adalah suatu kenyataan hidup bahwa sebagai manusia biasa kita sering saling-silang satu sama lain dan mengakibatkan saling menyakiti, bahkan--dan terkadang secara khusus--di dalam gereja. Oleh sebab itu, alangkah pentingnya kita mempelajari seni mengampuni".

Banyak orang mengira bahwa menjadi orang Kristen itu yang penting adalah memelihara Sepuluh Perintah Allah (Sepuluh Hukum). Roh dari Kekristenan justera terdapat pada sifat suka mengampuni di antara para penganutnya. Namun soal mengampuni tampaknya sudah menjadi isu penting sejak zaman Yesus, sehingga dalam mengajarkan murid-murid-Nya untuk berdoa Ia menekankan pentingnya mengampuni orang lain. "Kalau kalian mengampuni orang yang bersalah kepadamu, Bapamu di surga pun akan mengampuni kesalahanmu. Tetapi kalau kalian tidak mengampuni kesalahan orang lain, Bapamu di surga juga tidak akan mengampuni kesalahanmu" (Mat. 6:14-15, BIS).

Tiga dasawarsa kemudian hal yang sama ditekankan lagi oleh rasul Paulus ketika menulis surat kepada jemaat di Efesus. Perhatikan tiga hal yang disebutkannya, "Hendaklah kalian baik hati dan berbelas kasihan seorang terhadap yang lain, dan saling mengampuni sama seperti Allah pun mengampuni kalian melalui Kristus" (4:32, BIS). Berdasarkan urut-urutan dalam ayat ini, agar seseorang mudah untuk mengampuni orang lain maka lebih dulu dia perlu memiliki dua sifat lain, yakni "baik hati" dan "belas kasihan." Seorang yang baik hati tentu memiliki rasa belas kasihan, dan orang yang mempunyai rasa belas kasihan pasti mudah mengampuni. Seperti kata rasul Petrus, "Dengan saling mengasihi kalian akan bersedia juga untuk saling mengampuni" (1Ptr. 4:8, BIS). Sangat masuk akal. Sebab sulit bagi anda untuk mengampuni saya kalau anda tidak lebih dulu memiliki sifat baik hati dan mengasihi saya. Bahkan, mustahil bagi orang yang tidak baik (=jahat) dan tidak berbelas kasihan (=kejam) untuk bisa mengampuni orang lain!

"Pengampunan termasuk di antara strategi yang paling menyejukkan, sekalipun kesanggupan untuk benar-benar mengampuni dan diampuni datangnya hanya dari Allah melalui sebuah hati yang diubahkan oleh Allah [Yeh. 36:26]". Benar, tidak ada pengampunan yang setara dengan pengampunan dari Allah, karena hanya pengampunan dari Dia saja dapat menghapus dosa-dosa kita. Namun demikian, pengampunan yang dituntut dari kita selaku anak-anak-Nya ialah melatih sifat-sifat yang "diturunkan" Bapa semawi itu kepada kita melalui Kristus. Pengampunan dari Bapa semawi itu tidak sekadar melayakkan kita untuk masuk surga, tetapi juga menyanggupkan kita untuk mempraktikannya terhadap sesama kita.

Menjadi orang Kristen sejati berarti menjadi seorang yang berani untuk mengampuni, tidak peduli kesalahan apapun yang telah dilakukan orang itu kepada saya!
[ Read More ]

BERANI UNTUK MENGAKU

Dulu ada sebuah pemeo yang cukup populer: Mengaku supaya enteng. Maksudnya, kalau anda berbuat suatu kesalahan, sengaja atau karena alpa, lebih baik mengaku terus terang supaya hukumannya lebih enteng. Barangkali karena untuk mengaku itu saja sudah merupakan suatu hukuman tersendiri bagi si pesakitan.

Ada beberapa alasan mengapa orang sukar untuk mengakui kesalahan. Antara lain, tidak menyadari telah berbuat salah, menyadari tapi malu, takut ketahuan kekurangan atau kelemahannya, menganggap kesalahan itu sepele, merasa diri lebih besar daripada pihak terhadap siapa harus mengaku, tidak menghargai orang lain, dan sebagainya. Tapi jika ditelaah semua itu berpangkal pada satu hal, yakni gengsi. Gengsi adalah "penyakit moral" yang telah banyak menimbulkan kerugian, materil maupun moril. Karena gengsi orang nekad mengeluarkan uang banyak meski hidupnya pas-pasan. Gara-gara gengsi juga banyak orang yang kehilangan kesempatan emas untuk mendapat sesuatu yang berharga bagi hidupnya, termasuk kehilangan calon pasangan hidup. Pokoknya, gengsi bisa membuat seseorang kehilangan akal sehat.

Menurut Sigmund Freud, dalam diri manusia terdapat sebuah struktur yang disebutnya sebagai "apparatus psikis" yang terdiri atas id, ego dan super-ego dengan fungsinya masing-masing. Id bertanggungjawab pada kecenderungan naluri manusia, ego mengendalikan pemikiran yang realistik dan tertata, sedangkan super-ego memainkan peran moral yang bersifat kritis. Berdasarkan teori struktural ini maka dia berpendapat bahwa rasa bersalah timbul sebagai akibat dari konflik antara ego dan super-ego.

Rasa bersalah perlu ditangani dengan tepat, karena jika terus terpendam dapat mengganggu kestabilan emosi bahkan membuat yang bersangkutan jatuh sakit. Pertanyaannya, bagaimana dan kepada siapa rasa bersalah itu hendak dicurahkan? Selain itu, apakah pengungkapan rasa bersalah akan diterima dengan baik?
Keberanian untuk mengakui kesalahan oleh pihak yang bersalah, dan kesediaan menerima pengakuan itu di pihak yang telah diperlakukan salah, sama-sama merupakan suatu tindakan yang mulia. Asalkan kedua pihak melakukannya dengan hati yang tulus dan pikiran yang jernih. Perlu disadari juga bahwa kedua pihak berkemungkinan untuk bertukar posisi di waktu yang akan datang; kali ini si A yang mengaku salah kepada si B, lain kali si B yang melakukannya kepada si A. Dengan pemikiran itu maka dalam hal pengakuan bersalah sebenarnya tidak ada pihak yang perlu merasa direndahkan ataupun ditinggikan. Terlepas dari besar-kecilnya kesalahan yang hendak diakui itu, pada dasarnya tindakan mengaku bersalah itu harus dilihat sebagai manifestasi hubungan pergaulan antar manusia yang wajar, namun terpuji. Apalagi jika itu terjadi di kalangan umat Tuhan. "Oleh rahmat Allah, satu jiwa yang berbudi akan memberi pengampunan, terlepas dari seberapa besar perasaan yang terluka".

Apabila hubungan antar manusia terjalin atas dasar kesetaraan--tidak ada yang merasa lebih besar dari yang lain--biasanya proses pengakuan rasa bersalah akan berjalan dengan mulus. Bagi yang menerima pengakuan bersalah ada perasaan bahwa dirinya dihargai dan dipercaya, sedangkan bagi yang menyatakan pengakuan itu ada keyakinan bahwa dirinya tidak akan direndahkan dan pengakuannya dihormati. "Menaruh percaya dan dipercaya menyediakan ikatan yang akan membuat suatu persahabatan itu sejati dan abadi".

Seseorang yang secara psikis sudah dewasa serta memiliki kepribadian yang baik dengan pertumbuhan kerohanian yang matang, biasanya adalah orang yang tepat dengan siapa kita mengungkapkan beban rasa bersalah yang menghimpit batin, apabila kita telah berbuat salah terhadap suatu pihak lain. Barangkali pribadi seperti ini dapat dijadikan sebagai "pihak ketiga" yang akan bertindak sebagai penghubung di antara dua orang yang berselisih. Terhadap seseorang dengan kepribadian matang seperti itu biasanya memudahkan kedua pihak yang terlibat konflik untuk mengutarakan perasaan mereka tanpa kekuatiran cerita tentang mereka akan menyebar atau dimanfaatkan untuk tujuan yang merugikan. Hal ini harus benar-benar dipertimbangkan dengan cermat sebelum seseorang mengungkapkan kesalahan yang telah dibuatnya. Kalaupun anda tidak merasa yakin apakah ada orang yang bisa dipercaya untuk menjembatani perselisihan, kita masih memiliki Tuhan sebagai pihak ketiga yang bahkan sangat terpercaya. "Yang terpenting adalah bahwa kita selalu dapat mengakui pelanggaran kita kepada Tuhan dalam keyakinan penuh dan dengan kepastian pengampunan yang terjamin...Orang lain mungkin dapat menolong, tetapi pertolongan yang pasti datang dari Allah, yang bersedia mengangkat semua kesusahan kita setiap waktu, membiarkan kita dengan rasa kelegaan sejati karena sudah meletakkan beban kita di tangan-Nya".

Memiliki jaminan pertolongan dari Tuhan akan membuat kita menjadi orang-orang Kristen yang berani mengaku bersalah, baik kepada sesama kita terlebih kepada Tuhan.
[ Read More ]

BERANI UNTUK BERBUAT KEBAJIKAN

Orang bergaul terutama menggunakan percakapan untuk menjalin persahabatan. Meskipun pada kenyataannya sesama tunawicara juga bisa saling bergaul, dengan bahasa isyarat dan perasaan, namun dalam keadaan normal kita bergaul dengan bertukar kata. Tidak ada orang yang dapat berbicara normal tetapi tidak berkata-kata ketika bergaul. Bahkan, orang yang terlalu pendiam biasanya kurang disukai dalam pergaulan. Jadi, bicaralah.

Tapi ingat, dalam mengeluarkan perkataan kita harus berhati-hati. Salah berbicara akan membuat anda ditolak dan dijauhi, kalau bukan dimusuhi. Supaya menjamin bahwa kita akan diterima dalam suatu lingkungan pergaulan maka modal nomor satu ialah ucapan yang konstruktif (membangun), dan jauhkan perkataan yang destruktif (merusak). Semua orang suka mendengar ucapan-ucapan yang memberi dorongan semangat, pujian, dan yang membesarkan hati. [Ef. 4:29]. Sebab itulah gunanya suatu pertemanan, dan itulah juga maksud umat Tuhan itu berhimpun. [1Tes. 5:11; Rm. 14:19]. Ketidaktelitian dalam mengeluarkan kata-kata telah menjadi biang keladi dari banyak pertikaian yang tidak perlu.

"Banyak kesulitan antar pribadi berasal dari saling merendahkan, dan pada gilirannya menyakiti segenap masyarakat. Orang-orang yang terlibat dalam pergunjingan dan menyebar fitnah cenderung adalah mereka yang bermasalah--merasa rendah diri, cari perhatian, suka mengatur atau berkuasa, perasaan-perasaan kegelisahan lainnya". Orang-orang seperti ini sebetulnya perlu dikasihani dan ditolong untuk meninggalkan cara-cara mereka yang menyakitkan disebabkan oleh konflik batin mereka sendiri.

Banyak pepatah yang berbicara soal lidah. Umumnya bernuansa negatif, seperti peribahasa "Karena lidah, badan binasa" dan sebagainya. Tetapi raja Salomo mengemukakan dari sudut pandang positif ketika dia berkata, "Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di pinggan perak" (Ams. 25:11). Perhatikan frase "tepat pada waktunya" dengan huruf miring. Dalam istilah lain, kata-kata yang relevan dan proporsional. Tidak harus perkataan memuji, kata-kata teguran juga bisa menjadi bagaikan "buah apel emas" kalau itu disampaikan pada waktu dan suasana yang tepat. Sebab kata-kata pujian pun kalau salah tempat bisa dianggap sekadar soft-soaping (rayuan gombal) yang memuakkan, kalau bukan disangka ngenye'. Jadi, bicara itu harus menggunakan akal budi, jangan "asbun" (asal bunyi).

Orang Amerika terkenal sangat royal mengumbar kata-kata pujian dan dukungan. Kadang-kadang menurut "standar" kita pujian itu terasa berlebihan atau mengada-ada. Anda akan sering mendengar pujian seperti "Good job!" (bagus sekali) atau "Awesome!" (mengagumkan) atau "Terrific" (dahsyat) untuk hal-hal yang sebenarnya amat sederhana bagi kita, tapi begitulah gaya bahasa mereka dalam memberi dukungan. Dan adalah suatu dosa besar untuk mengejek atau mengecilkan orang lain dalam pergaulan di tengah masyarakat mereka--terkecuali selama masa kampanye pemilu atau pilkada, antara para politikus yang sedang bersaing! Kebiasaan menebar kata pujian dan dukungan di antara mereka ini menumbuhkan kultur dengan rasa percaya diri yang sangat besar. "Kata-kata yang mendorong semangat dan bersifat mendukung, menekankan sisi positif dari berbagai hal, kerendahan hati, dan sikap gembira adalah cara-cara yang menyokong mereka yang mempunyai masalah pribadi".

Secara umum bangsa kita agak pelit memberi pujian. Atau, kalau juga memuji, seringkali karena ada udang di balik batu. Budaya kita memang tidak mendorong sikap afirmatif, tapi lebih banyak berbicara dalam hati. Mungkin karena terlalu lama dijajah kolonialisme dan premanisme yang memberangus kebebasan berpendapat dan yang telah melahirkan generasi pemalu dan malu-maluin. Saya termasuk orang yang bertumbuh-kembang dalam kultur yang bukan saja kurang memberi motivasi dengan pujian tapi malah cenderung basosere (ngejek). Tapi itu dulu.

Yesus menawarkan hukum pergaulan yang sederhana namun sangat bermakna. Prinsip ini kemudian dikenal sebagai "hukum emas" (the golden rule) di kalangan para pelajar kitab suci. "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka" (Mat. 7:12). Kalau saja setiap hubungan pertemanan dan lingkungan pergaulan dibangun dengan hukum emas ini sebagai dasarnya, niscaya setiap hubungan antar-pribadi, antar-keluarga, antar-masyarakat, antar-suku, bahkan antar-bangsa akan berlangsung dengan harmonis. Oleh sebab setiap orang akan terdorong untuk berbuat apa saja yang baik bagi orang lain, sebagaimana mereka ingin itu dilakukan terhadap diri mereka. Ini identik dengan hukum hubungan horisontal antar-manusia yang juga diajarkan Yesus, "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri" yang kemudian dikutip dan diajarkan juga oleh Paulus dan Yakobus (Mat. 22:39, Mrk. 12:31, Luk. 10:27, Rm. 13:9, Gal. 5:14, Yak. 2:8).

"Prinsip ini dapat dianggap sebagai sebuah permata yang tak ternilai bagi hububungan-hubungan sosial. Bersifat positif, didasarkan atas kasih, bersifat universal, dan lebih luhur serta melampaui hukum manusia". Inilah undang-undang pergaulan masyarakat yang mendahulukan orang lain dalam mengasihi dan menghormati (Rm. 12:10), yang pada gilirannya akan membuat setiap orang berlomba untuk menyenangkan orang lain.

Dapatkah anda membayangkan sebuah masyarakat yang setiap orang berebutan dan berkompetisi untuk berbuat kebaikan dan kebajikan? Cermatilah bila ada pejabat tinggi atau selebriti terkenal datang ke jemaat anda, bukankah setiap orang berlomba menunjukkan rasa hormat dan kebaikan dengan mempersilakan mereka duduk di tempat terbaik dan dijamu lebih dulu dengan menawarkan makanan yang lezat-lezat? Lalu, bayangkanlah seandainya setiap orang berbuat hal yang sama terhadap orang lain. Suatu suasana yang amat menyenangkan!

Menjadi orang Kristen sejati adalah menjadi orang yang berani berbuat kebajikan kepada siapa saja, termasuk bebas menyampaikan kata-kata dukungan kepada mereka, karena kita ingin diperlakukan seperti itu juga oleh orang lain.
[ Read More ]

Gereja dalam fungsi sebagai perawatan dan pengobatan rohani

Sebuah jemaat yang ideal adalah yang terdiri atas individu-individu yang memiliki kualitas seperti yang diajarkan oleh Rasul Paulus dalam Efesus 4:25-32. Tidak ada dusta, semua berkata benar, tidak menyimpan marah, tidak suka mencuri, punya pekerjaan yang baik, suka menolong orang yang membutuhkan, tidak suka berbicara kasar, perkataan mereka halus dan bersifat membangun, tidak mau mendukakan hati Roh Kudus, tidak ada perasaan getir, tidak ada kegeraman dan amarah, tidak ada pertengkaran dan fitnah, tidak ada kejahatan, ramah, penuh kasih, dan suka mengampuni.

"Ungkapan-ungkapan yang kasar mendukakan hati Tuhan; kata-kata yang tidak bijaksana itu merusak. Saya disuruh untuk mengatakan kepada kamu, Hendaklah lembut dalam ucapanmu; perhatikan baik-baik perkataanmu; biarlah tidak ada kekasaran terdapat dalam ucapan-ucapanmu atau tindakanmu...Pengetahuan Firman Allah yang dipraktikkan dalam kehidupan akan memiliki suatu kuasa yang menyembuhkan dan menenangkan".
Apakah tuntutan-tuntutan ini terlalu berat untuk dipenuhi? Apakah memiliki satu jemaat yang perangai orang-orangnya "sempurna" seperti ini adalah kemustahilan?
Kita sering mendengar orang berkata bahwa "gereja" itu seumpama rumahsakit yang menampung pasien-pasien penyakit rohani. Dalam pengertian tertentu pengibaratan ini mungkin ada benarnya, sebab semua kita yang masuk gereja adalah orang-orang yang berdosa dan sakit rohani. Tetapi, kalau kita mengibaratkan gereja sebagai sebuah rumahsakit, untuk apakah orang masuk rumahsakit kalau bukan untuk disembuhkan dari penyakitnya? Nah, sudah berapa tahun anda masuk "rumahsakit rohani" yang bernama gereja, adakah penyembuhan rohani yang anda peroleh? Jangan-jangan penyakit rohani anda bertambah parah. Lalu, siapa yang salah?

Kalau anda sakit dan masuk rumahsakit ada dua pilihan yang bisa diperoleh: rawat-jalan atau rawat-inap. Rawat-jalan kalau penyakitnya tidak terlalu berat dan anda setuju untuk minum obat dan menurut anjuran dokter; rawat-inap jika penyakitnya parah dan membutuhkan perawatan serta penanganan medis yang intensif. Di rumahsakit para pasien rawat-inap akan memperoleh terapi medis yang dibutuhkannya, serta pengawasan 24 jam sehari. Anda tidak mungkin sembuh kalau tidak mau menjalani perawatan dan minum obat, termasuk makan menu yang disarankan dokter. Perawatan di rumahsakit adalah untuk mencari kesembuhan, tapi kadang-kadang hal itu tidak diperoleh karena kondisi anda memang sudah sangat lemah dan penyakit anda sudah mencapai stadium lanjut atau sudah tahap terminal.

Tapi tidak demikian dengan gereja, tidak ada orang sakit rohani yang separah apapun yang tak tersembuhkan, karena Tabib Agung kita adalah Maha Kuasa. Persoalannya ada pada pasien itu sendiri, apakah dia sungguh-sungguh mencari kesembuhan rohani di gereja atau masuk gereja dengan motif lain. Atau kita masuk ke gereja sambil membawa kuman dan virus dosa yang tetap kita pelihara dan tidak ingin melepaskannya.
Gereja memang menjalankan fungsi perawatan dan pengobatan rohani. Tetapi berbeda dari rumahsakit, perawatan dan pengobatan rohani di gereja tidak semata-mata dibebankan kepada pendeta, melainkan juga menjadi tanggungjawab di antara sesama anggotanya. Setiap anggota adalah perawat rohani bagi sesamanya, dengan Tuhan sebagai dokter dan Firman-Nya sebagai farmasi (instalasi obat) dan pendeta adalah apotekernya. Gereja bukanlah bangunannya, melainkan jemaatnya, orang-orang di dalamnya. "Kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri" (1Ptr. 2:9).
[ Read More ]

FAKTA TENTANG STRES

Stres yang dimaksud di sini adalah stres psikologis, yaitu keadaan di mana pikiran mendapat tekanan yang lebih dari biasa yang pada tingkatan tertentu dapat mempengaruhi fungsi-fungsi tubuh. Stres adalah respon organisme terhadap tuntutan ataupun tekanan dari lingkungan yang menimbulkan perasaan ketegangan emosi maupun fisik. Meskipun stres merupakan akibat langsung dari kehidupan yang serba sibuk, dan dapat dialami oleh hampir semua orang, namun respon terhadap stres bisa berbeda-beda dari satu orang dengan orang yang lain.

Hal-hal yang menyebabkan stres (disebut "stresor") bisa dari kejadian sehari-hari, perubahan-perubahan besar dalam kehidupan seseorang, atau perpaduan dari beberapa penyebab. Stresor atau pencetus stres tidak selalu harus hal-hal yang negatif dan tidak menyenangkan, tetapi bisa juga diakibatkan oleh peristiwa-peristiwa yang menyenangkan. Stres dapat dipicu oleh situasi dari luar diri kita dan juga dari dalam pikiran kita sendiri yang membuat kita frustrasi ataupun kesal dan cemas, namun apa yang menyebabkan stres pada satu orang belum tentu mengakibatkan stres pada orang lain.

Stres adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Dalam takaran yang kecil stres merupakan sesuatu yang berdampak positif bagi tubuh, karena dapat memberikan motivasi atau mendorong kita untuk lebih produktif. Akan tetapi stres yang terlampau berat, ataupun respon yang berlebihan terhadap stres, itu bisa mengganggu kesehatan tubuh kita. Stres yang berkepanjangan seringkali juga dapat membuat seseorang menjadi depresi atau menimbulkan perilaku-perilaku yang buruk bagi kesehatan, misalnya makan berlebihan atau menenggak minuman keras dan menggunakan narkoba (narkotika dan obat-obat berbahaya).

Mulai dikenal dalam dunia kedokteran pada lebih dari setengah abad lalu, stres terus menjadi obyek penelitian kalangan kedokteran umum maupun jiwa. Mula-mula adalah dua orang dokter yang mengadakan penelitian tentang stres dan dianggap sebagai pakar stres yang paling berpengaruh, yaitu Walter Cannon dan Hans Selye. Menggunakan hewan sebagai "kelinci percobaan" mereka kemudian menjadi penyusun dari dasar ilmiah mula-mula dalam hal studi tentang stres. Keduanya terkenal dengan teori fight-or-flight response (respon lawan-atau-lari) yang merupakan tahap awal dari apa yang disebut "sindroma adaptasi umum"  (GAS=general adaptation syndrome) yang mengatur respon terhadap stres. Kemudian muncul pula pasangan dokter jiwa,Thomas Holmes dan Richard Rahe, yang mengadakan penelitian tentang stres pada manusia melibatkan lebih dari 5000 pasien dan kemudian menyusun skala stres untuk mengukur efek stres pada manusia. Belakangan para pakar medis maupun psikologi silih-berganti mengadakan studi untuk lebih memahami masalah stres dan bagaimana cara paling baik untuk menghadapinya.

Stres yang baik--disebut eustress--adalah yang meningkatkan semangat dan secara umum memberi pengaruh yang positif terhadap seseorang. Misalnya, seorang yang baru dipromosikan kepada suatu jabatan, atau karyawan yang merasa tertantang untuk menunjukkan kinerja yang lebih baik. Stres yang dialami oleh calon pengantin menunggu saat naik pelaminan, seorang yang akan mengikuti ujian, ataupun hendak mempresentasikan sesuatu di hadapan banyak orang merupakan faktor-faktor yang dapat memicu stres. Akan tetapi ini merupakan bentuk stres yang baik karena menimbulkan motivasi untuk tampil sebaik-baiknya, asalkan tidak meresponnya secara berlebihan.
Bukan hanya orang dewasa saja mengalami stres, tetapi juga anak-anak. Stres di masa kanak-kanak biasanya berkaitan dengan tuntutan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan ataupun sesuatu yang baru. Situasi ini sering menimbulkan rasa cemas pada anak-anak. Memulai suatu aktivitas yang baru juga berpotensi menyebabkan stres pada anak-anak. Misalnya ketika pindah sekolah atau melanjutkan di tingkat pendidikan yang lebih tinggi, bahkan ketika harus pindah tempat tinggal di lingkungan yang baru.

Dengan kenyataan bahwa stres adalah bagian dari kehidupan kita setiap hari, dan bahwa nyaris tidak ada orang yang bisa luput dari stres, maka apa yang penting untuk kita lakukan ialah belajar bagaimana hidup dengan stres. Ada berbagai pendekatan bisa dilakukan untuk menghadapi stres, termasuk pendekatan rohani. Inilah yang akan kita bahas dalam pelajaran pekan ini.
[ Read More ]