Facebook
RSS

"ALKITAB DAN EMOSI MANUSIA"

-
Firman Tuhan


Ketika seseorang melalui iman dan pengakuan menerima Yesus sebagai Juruselamat pribadinya--atau menjadi pengikut Kristus, yaitu "orang Kristen"--maka terjadilah sebuah transformasi dalam dirinya: berubah dari manusia "lama" menjadi menjadi manusia "baru" (melalui baptisan). Kata Rasul Paulus, "Orang yang sudah bersatu dengan Kristus, menjadi manusia baru sama sekali: yang lama sudah tidak ada lagi--semuanya sudah menjadi baru" (2Kor. 5:17, BIS).

Tidak sedikit orang yang berpikir dan beranggapan bahwa menjadi orang Kristen itu seolah-olah berubah dari manusia biasa menjadi manusia "super"--karena di dalam Yesus kita tidak perlu merasa takut seperti orang lain (1Ptr. 3:14), kesusahan apapun dapat ditanggung (Flp. 4:13), tidak akan menerima hukuman dari dosa (Rm. 8:1), serta banyak lagi yang lain. Dari segi emosional seakan-akan menjadi orang Kristen itu berarti tidak boleh susah melainkan harus selalu gembira (Flp. 4:4; 1Tes. 5:16), tidak boleh marah berlama-lama (Ef. 4:26), tidak boleh kecewa (Luk. 7:23), tidak boleh membenci (1Yoh. 2:9-11; 3:15) dan pantang memiliki berbagai perasaan negatif lainnya. Tujuan idealnya memang begitu, sebab firman Tuhanlah yang mengatakannya.

Tapi, benarkah menjadi orang Kristen itu idem-ditto dengan kehilangan perasaan-perasaan manusiawi tertentu?

Emosi (=perasaan) adalah sesuatu yang hakiki dari kemanusiawian kita, dan itu adalah bagian yang tak terpisahkan sebab Tuhanlah yang "menanamkannya" dalam diri kita sebagai homo sapiens, yaitu makhluk cerdas yang mempunyai rasa dan karsa. Menjadi pengikut Kristus tidak pernah menghilangkan dari dalam diri kita perasaan-perasaan yang ada sejak penciptaan sebagai pemberian dari Khalik itu; tetapi menjadi pengikut Kristus menyanggupkan kita untuk mengendalikan serta menyeimbangkan emosi yang positif dan negatif, supaya bukan emosi-emosi itulah yang mengendalikan kita. Kemampuan mengelola perasaan itulah yang disebut emotional quotient (kecerdasan emosi).

"Kesedihan, rasa sakit, dukacita...perasaan-perasaan ini tidak salah, ini bukanlah dosa. Kita tidak menunjukkan kurangnya iman, kurangnya percaya, ketika kita merespon kekisruhan hidup dengan emosi seperti itu".

Memang, kenyataan bahwa tokoh-tokoh Alkitab juga memperlihatkan respon dengan perasaan-perasaan negatif dalam pengalaman hidup mereka bukan menjadi pembenaran bagi kita untuk boleh bereaksi dengan cara yang sama. Justeru kita hendak belajar dari pengalaman mereka, dari kegagalan dan keberhasilan mereka, supaya kita menjadi umat Tuhan yang baik.

"Kita akan melihat kepada tokoh-tokoh Alkitab, menyorot reaksi-reaksi emosional mereka terhadap apapun yang menimpa mereka, baik atau buruk, dan bertanya kepada diri kita pertanyaan penting ini: Apa yang dapat kita pelajari dari pengalaman mereka yang bisa menolong kita dalam pengalaman-pengalaman kita?"

Leave a Reply