Facebook
RSS

BILAMANA SUKACITA MENGGANTIKAN DUKACITA (Rencana Allah Bagi Emosi-emosi yang Menyakitkan)

-
Firman Tuhan

Ini adalah sebuah pertemuan internal. Inti dari pesan Yesus yang khusus ditujukan kepada murid-murid yang kelak akan ditinggalkan-Nya adalah mengandung nasihat dan sekaligus nubuatan. Sebagai Guru yang baik, Yesus sedang menyiapkan mental para murid-Nya itu untuk mengantisipasi masa-masa sulit sepeninggal-Nya kelak. Kesiapan psikologis dibutuhkan demi meredam reaksi emosional terhadap suatu keadaan tidak menyenangkan yang akan datang.

Dunia akan bergembira (Yoh. 16:20a). Mengapa dunia akan bergembira, sementara murid-murid akan menangis bahkan meratap? Bagi dunia Yesus adalah "pengganggu" ketenteraman, tetapi bagi para murid-Nya Dia adalah sumber penghiburan dan kekuatan. Itulah sebabnya keadaan tanpa Yesus memberi dampak yang berbeda terhadap dunia dan terhadap murid-murid, yang satu akan merasa senang sedangkan yang lain akan merasa susah. "Seringkali orang percaya melihat sekitar dan teringat akan ketidak-adilan dalam hidup...Secara alamiah kita cenderung memandang seakan orang lain lebih berbahagia dan lebih berhasil daripada kita".

Dukacitamu akan berubah menjadi sukacita (ay. 20b). Terangkatnya Yesus kembali ke surga merupakan suatu perpisahan yang tidak saja menyedihkan tapi juga menimbulkan satu suasana depresif di hati murid-murid. Namun kata-kata Yesus itu sendiri bukan sekadar janji melainkan juga jaminan. Perhatikan, sukacita yang akan dialami murid-murid itu bukan merupakan "pergantian suasana hati" dalam artian sesudah dukacita akan datang sukacita; melainkan itu adalah sebuah transformasi emosional, dari keadaan dukacita "berubah" menjadi keadaan sukacita! Jaminan ini tidak hanya terbatas untuk murid-murid Yesus pada waktu itu saja, tetapi berlaku juga bagi pengikut-pengikut Yesus sepanjang zaman. Oleh karena itu, "umat percaya harus menghargai gagasan bahwa dukacita tidak saja akan berlalu tetapi akan membuka jalan kepada sukacita".
Tidak ingat lagi akan penderitaan (ay. 21). Metafora (kiasan) tentang ibu melahirkan yang Yesus gunakan sangatlah tepat. Tanyakanlah kepada para ibu yang pernah melahirkan bayi mereka: tidak ada rasa sakit yang menandingi rasa sakit saat melahirkan, tetapi juga tidak ada kebahagiaan yang dapat menyaingi sukacita tatkala melihat bayi mungil sehat yang mereka lahirkan. "Yesus menjamin kepada kita bahwa, persis sebagaimana seorang wanita yang melahirkan lalu melupakan soal rasa sakitnya ketika melihat bayi yang baru lahir, pada suatu hari kelak para pengikut-Nya juga akan melupakan rasa sakit yang dialami di masa lampau".
Tidak ada seorangpun yang dapat merampas kegembiraanmu itu dari padamu (ay. 22). Dukacita akan berlalu, tetapi sukacita akan tetap tinggal. Bukan itu saja, sukacita yang akan menggantikan dukacita para pengikut Yesus itu tidak akan pernah diambil dari padanya. "Yesus menawarkan kepada kita kebahagiaan secara total, suatu keadaan kekekalan yang musuh tidak dapat mengambilnya dari orang yang diselamatkan".

Tidak akan meminta apa-apa lagi (ay. 23). Sejak Yesus diangkat ke surga setelah kebangkitan-Nya lebih dari 2000 tahun silam, hingga sekarang ini umat Tuhan selalu meminta sesuatu kepada-Nya. Setiap hari kita memohon berkat, perlindungan, kesehatan, pertolongan, kekuatan, penghiburan dan beribu-ribu permintaan yang silih-berganti dilayangkan melalui doa kita siang dan malam. Terkadang ada permintaan-permintaan mendesak yang kita minta dari Tuhan sambil bergumul di dalam doa tengah malam, disertai berpuasa, oleh sebab segala kekurangan dan kebutuhan yang kita hadapi di dunia ini. Tetapi nanti, satu hari kelak, tidak lama lagi, kita takkan pernah lagi memintanya. "Yesus memastikan bahwa orang-orang benar tidak akan lagi meminta apa-apa". 

Suatu hari seorang anak kecil menulis sepucuk surat permohonan pribadi. Kertas selembar berisi corat-coretnya itu lalu dimasukkan ke dalam sebuah amplop, dilem, kemudian dibubuhi perangko lalu dimasukkan ke dalam kotak surat di depan rumahnya. Ketika para petugas di kantor pos menyortir surat-surat yang dikumpulkan hari itu untuk disampaikan ke alamat tujuan, mereka terkesima menemukan sepucuk surat beramplop putih yang beralamat: "Kepada Allah Bapa di Surga."

Seorang pegawai pos dengan setengah bercanda menunjukkan surat itu kepada kepala kantor pos, seorang pria separuh baya yang bijaksana dan penuh perasaan. Dia mengambil surat itu, membuka amplopnya dan membaca suratnya. Isinya tak lain dari ungkapan isi hati seorang anak laki-laki berumur 10 tahun mengenai keluarganya, tentang dirinya yang menderita kelainan jantung, dan perihal ibunya yang telah menjanda dan harus bekerja double job (tiap hari bekerja di dua tempat) demi memenuhi kebutuhan keluarga. Di bagian penutup suratnya anak itu memohon kesehatan untuk dirinya dan ibunya, serta keinginan agar dalam sisa hidupnya yang tinggal beberapa bulan lagi sesuai ramalan dokter dia bisa membahagiakan ibunya dan orang lain.

Kepala kantor pos menyerahkan surat itu kepada salah satu pegawainya, seorang pria yang telah menduda dan sedang mengalami kekalutan batin memikirkan rumahtangganya yang berantakan. "Di amplopnya ada alamat pengirim yang jelas. Coba kamu baca suratnya dan pikirkan apakah kamu bisa berbuat sesuatu," pesan kepala kantor pos itu. Tentu saja pegawai kantor pos yang menduda ini bingung membaca isi surat tersebut. Dia melipat surat itu lalu mengantonginya. Sesampai di apartemennya dia langsung beristirahat dan melupakan surat itu.

Dua hari kemudian surat kedua yang beralamat "Kepada Allah Bapa di Surga" muncul lagi. Pengirimnya adalah bocah lelaki yang sama. Kepala kantor pos kembali menyerahkan surat itu kepada sang duda pegawai kantor pos yang kemudian membaca dan mengantonginya. Isinya serupa, hanya bercerita tentang apa yang dialaminya di rumah dan di sekolah, disertai permohonan agar Tuhan menyediakan seorang jodoh yang baik untuk ibunya "yang tidak lama lagi akan saya tinggalkan." Anak itu merasa kasihan kepada ibunya yang bakal kesepian apabila dia meninggal dunia. "Tuhan, saya sudah siap untuk beristirahat di pangkuan-Mu, tetapi saya khawatir ibu saya belum siap untuk hidup sendirian." Begitu kalimat penutup surat itu.

Ketika surat ketiga muncul lagi, pegawai kantor pos itu bertekad untuk berbuat sesuatu. Dia sengaja menukar rute dengan rekannya supaya dapat melayani alamat di mana anak kecil pengirim surat itu tinggal. Suatu hari dia berkenalan dengan anak itu, bahkan sempat bermain bola sejenak di halaman depan rumahnya. Tentu saja petugas pos ini tidak menyinggung soal surat-surat yang dikirim anak itu, yang dialamatkan kepada Bapa di surga. Terjalinlah hubungan yang akrab antara keduanya, bahkan suatu kali sempat bertemu dan berkenalan pula dengan ibu si bocah. Surat-surat dari anak itu semakin gencar, antara lain menceritakan tentang kegembiraannya bisa berkenalan dengan petugas pos "yang baik dan penuh perhatian" itu. Tentu saja sang petugas pos membacanya sambil tersenyum.

Suatu kali terjadi pertengkaran kecil ketika ibunya dapati bahwa anaknya itu sering diajak bermain sepakbola di halaman rumahnya oleh petugas pos itu. "Anak saya sakit jantung. Kamu akan membunuh anak saya dengan mengajaknya bermain sepakbola," tukasnya kepada petugas pos itu. "Nyonya, anda terlalu protektif terhadap anak anda. Dia memerlukan olahraga yang ringan, dan dia akan menjadi sehat," jawab petugas pos itu membela diri. Pertengkaran yang berakhir dengan sikap ketus antara keduanya disaksikan oleh anak itu dari teras loteng rumahnya. Besoknya dia menuangkan isi hatinya di dalam surat, sambil mengemukakan pendapatnya yang arif tentang maksud baik si petugas pos maupun ibunya, lalu memasukkannya ke kotak surat.

Belakangan terjadilah pembicaraan empat mata antara sang ibu dan petugas pos yang telah menjadi sahabat anaknya. Hubungan mereka berubah menjadi akrab disertai rasa saling percaya dan kemudian berubah menjadi cinta. Anak itu semakin bertambah sehat, dan akhirnya diizinkan oleh dokter untuk ikut bertanding bersama tim sekolahnya. Ibunya dan petugas pos hari itu sengaja mengambil cuti untuk menyaksikan dan sekaligus menjadi pendukung anak itu dan tim sekolahnya. Selanjutnya, kisah sejati yang difilmkan dengan judul "Letters to God" itu ditutup dengan happy ending. Anak itu berhenti menulis surat kepada Tuhan setelah semua permintaan dan kebutuhan lahir-batinnya dipenuhi. Pada akhirnya, dia tidak perlu meminta apa-apa lagi!

Leave a Reply