Facebook
RSS

KEAMANAN ATAU KECEMASAN (Janganlah Takut)

-
Firman Tuhan

Seperti dikatakan terdahulu, merasa gelisah atau tidak itu adalah sebuah pilihan. Seperti halnya rasa takut, kecemasan bukanlah sesuatu yang harus kita pikul. Perasaan gelisah tidak sama dengan rasa lapar dan haus atau rasa kedinginan dan kegerahan yang merupakan "bahasa tubuh" untuk memberitahukan kepada kita bahwa ada kebutuhan fisik yang harus segera dipenuhi kalau tidak ingin tubuh kita menderita. Rasa cemas dan khawatir timbulnya di dalam benak kita yang muncul sebagai respon (tanggapan) atas apa yang diolah di dalam pikiran itu sendiri. Dengan kata lain, kecemasan adalah "bahasa jiwa" mengantisipasi sesuatu yang diduga akan terjadi, bukan yang sedang terjadi.

Abram (sebelum Allah mengubah namanya menjadi Abraham) memiliki kegelisahan yang unik, bahkan terkesan egoistis. Abram cemas karena dia tidak mempunyai anak atau keturunan yang akan mewarisi kekayaannya, sehingga bila dia mati Eliezer yang beruntung. Eliezer bukan hamba atau pelayan biasa, melainkan semacam kepala urusan rumahtangga bagi keluarga Abram, dan menurut adat-istiadat waktu itu dialah yang paling berhak menjadi pewaris milik majikannya. Soal ahli waris ini menjadi penting bagi Abram terutama setelah Allah berjanji kepadanya untuk memberkatinya dengan kemakmuran. Mungkin sebelum ini buat dia tidak jadi masalah sekalipun Eliezer yang akan mewarisi hartanya, tetapi ketika Allah menjanjikan kepadanya "upah yang sangat besar" (Kej. 15:1) maka soal siapa yang bakal menjadi pewarisnya lalu menjadi urusan yang penting. Sebab, apalah artinya kemakmuran yang berlimpah jika kemudian orang lain yang akan menikmatinya? Sebuah kecemasan yang sangat logis.

"Sikap seperti ini nampaknya merupakan reaksi umum yang melekat pada sifat manusiawi, yaitu untuk melanjutkan sesuatu dari diri kita, sesuatu yang akan melestarikan pengaruh kita meski setelah kita mati".
Penampakan Allah kepada Abram ini adalah yang ketiga kalinya sejak dia tiba di Kanaan, negeri ke mana Tuhan telah memanggil Abram untuk dimilikinya. Penampakan yang pertama adalah saat Abram baru tiba di negeri perjanjian itu (Kej. 12:7), dan kedua pada waktu Allah memperlihatkan kepadanya seluruh tanah perjanjian itu sesaat setelah berpisah dengan Lot (Kej. 13:14-17). Jadi, sangat wajar jika Abram resah soal siapa yang akan menjadi ahli warisnya. Tentu saja ketika itu iman Abram masih dalam tahap pertumbuhan sehingga mata imannya belum sanggup melihat lebih jauh dari apa yang nyata saat itu.

Dalam pengalaman rohani kita, bukankah kita juga sering hanya bisa melihat pada "fakta" yang ada di depan kita dan tidak mampu memandang lebih jauh dari itu? Sebab iman yang kita peroleh dari Tuhan bukanlah sesuatu yang "sudah jadi" (ready made) seperti halnya makanan di restoran siap saji yang tinggal disantap, tetapi iman itu lebih sebagai benih yang harus disiram dan disiangi sepanjang waktu agar tumbuh menjadi besar dan kokoh. Iman yang masih kerdil sangat rentan terhadap kecemasan dan kekhawatiran serta tantangan hidup lainnya. Namun kita bersyukur bahwa Tuhan yang kita sembah itu adalah Allah Maha Pengasih yang mengerti keperluan umat-Nya. "Ia mengetahui bahwa bebas dari kecemasan merupakan salah satu kebutuhan kita yang terbesar, dan Ia mau agar kita merasa puas hari ini dan yakin akan hari esok".
Kalau ada janji Tuhan yang paling bermakna dan berkesan bagi saya maka kata-kata itu adalah "Janganlah takut." Mengapa? Sebab hidup di tengah dunia yang penuh dengan berbagai ancaman maka hal yang kita sangat perlukan adalah jaminan untuk tidak perlu merasa takut. Di dunia ini kita terancam kehilangan pekerjaan, kehilangan harta benda, kehilangan orang-orang yang sangat dikasihi, kehilangan kepercayaan, kehilangan martabat, kehilangan pengaruh, kehilangan jabatan dan kekuasaan, bahkan kehilangan nyawa. Dan jaminan bahwa Allah pasti akan mendengar keluhan kita adalah pasti dan dapat diandalkan, seperti kesaksian raja Daud, "Ketika aku dalam kesesakan, aku berseru kepada Tuhan, kepada Allahku aku berteriak minta tolong. Ia mendengar suaraku dari bait-Nya, teriakku minta tolong kepada-Nya sampai ke telinga-Nya" 
(Mzm. 18:7). Jaminan ini hanya batal kalau kita kehilangan iman kepada Tuhan!

Kecemasan adalah sesuatu yang alamiah, karena itu merasa cemas adalah hal yang manusiawi. Tidak heran jika banyak orang yang berusaha mencari jalan keluar dari perasaan ini. Ada yang menggunakan obat penenang, narkoba, minuman keras, dan sebagainya. Tidak sedikit pula yang pergi ke tempat-tempat hiburan atau bergabung dengan lingkungan pergaulan tertentu sebagai upaya melarikan diri dari keadaan hidup mereka yang gelisah. Tapi itu semua bukan solusi yang sesungguhnya, bahkan hanya akan membuat kecemasan bertambah ruwet. Sebagai umat percaya pilihan utama kita untuk mencari "suaka" dari segala kegelisahan dan kecemasan adalah berpaling kepada janji-janji Tuhan.

"Kecemasan itu dinyatakan melalui kesedihan hati terhadap ketidakpastian...Tidak heran mengapa Tuhan berhasrat untuk membebaskan kita dari padanya".

Leave a Reply